Masalah Kesehatan Jiwa Meningkat, Tapi Akses Perawatannya Terbatas
- ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani
Dokter spesialis kesehatan jiwa dari Universitas Indonesia, Nova Riyanti Yusuf, mengatakan konsekuensi seseorang apabila depresi tak tertangani dengan baik, maka akan meningkatkan risiko bunuh diri.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta ini mengungkapkan, merujuk pada penelitian yang dibuatnya, 5% pelajar dari 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta memiliki ide bunuh diri.
Faktor-faktor yang menyebabkan seorang remaja bunuh diri, kata Nova, antara lain menjadi merasa beban, kesepian dan putus asa.
"Tidak harus ada gangguan jiwa di situ. Sedangkan kalau penelitian yang lain itu memang bisa sampai 90% bunuh diri disebabkan oleh gangguan jiwa, utamanya depresi," ungkap Nova.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono, mengungkapkan terjadi peningkatan masalah kesehatan jiwa tahun 2018 dibandingkan tahun 2013.
Merujuk pada Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2018, prevalensi orang gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%, sementara prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun keatas meningkat dari 6,1% pada tahun 2013 menjadi 9,8 persen pada 2018.
"Prevalensi depresi pada penduduk usia 15 tahun keatas sebesar 6,1 persen atau sekitar 12 juta penduduk usia 15 tahun keatas menderita depresi," kata dia.
Merujuk pada Sistem Registrasi Sampel (SRS), suatu survey yang bertujuan untuk mengetahui angka dan penyebab kematian secara nasional, pada 2016 terjadi 1.800 kematian karena bunuh diri.
"Atau terjadi 5 kematian karena bunuh diri setiap harinya," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Dia menambahkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir perilaku bunuh diri karena depresi telah mencapai angka yang kritis. Secara global WHO menyebutkan lebih dari 800.000 orang meninggal setiap tahunnya atau sekitar 1 orang setiap 40 detik bunuh diri.