Kisah 'Penebusan Dosa' Anak Algojo PKI di Blitar
- bbc
Sebagai penebusan kesalahan ayahnya yang menjadi algojo alias eksekutor orang-orang yang dituduh PKI di Blitar selatan pada 1968, sang anak menggelar rekonsiliasi dengan korban dan keluarga mereka yang dahulu dimusuhi ayahnya.
Pedang yang digunakan menggorok leher orang-orang yang dituduh anggota PKI di Blitar selatan itu pernah menghiasi dinding di salah-satu sudut ruang tamunya.
Bapak pemilik pedang, Hasyim As`ari, menempatkan pedang itu di dekat pintu ruang tamu di rumahnya di Desa Bacem, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, selama bertahun-tahun. Di sekitar 1968, Hasyim adalah aktivis Ansor - organisasi kepemudaan di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU).
"Pedang itu menjadi alat untuk eksekusi orang-orang PKI," kata sang anak, Farida Masrurin menghela napas panjang, saat saya temui di rumahnya, awal September lalu.
Ibu satu anak itu adalah putri sulung pasangan Hasyim As`ari dan Uli Wafiah.
Lebih dari 50 tahun silam, persisnya bulan-bulan di awal 1968, di wilayah Blitar selatan, yang tandus itu, termasuk di Desa Bacem, ABRI (kini TNI) menggelar operasi untuk "membasmi sampai ke akar-akarnya" pimpinan, anggota, dan simpatisan PKI.
Operasi Trisula, demikian sebutan resminya, seperti tercatat dalam sejarah, kemudian `melibatkan` antara lain organisasi Gerakan Pemuda Ansor dengan salah-satu sayapnya, Barisan Serbaguna alias Banser.
Tidak pernah diketahui berapa jumlah persis korban mati di pihak PKI atau simpatisannya dalam apa yang disebut berbagai laporan independen sebagai pembunuhan massal.
"Bapak mungkin merasa bangga (membunuh orang-orang yang dituduh PKI) itu bagian dari jihad dan menjaga negara," ungkap perempuan kelahiran 1982 ini seraya menunjuk lokasi di mana pedang itu pernah dipajang.
Dan, tatkala film G30S wajib diputar di televisi setiap akhir September di masa Orde Baru, Farida teringat, ayahnya acap bercerita perihal perannya pada bulan-bulan `panas` ketika operasi itu digelar.
Saat itu Farida, tentu saja, masih kanak-kanak hingga beranjak remaja.
"Kalau ada siaran televisi (film G30S), bapak lalu bercerita `oh ya, aku dulu loh berjuang`," Farida menirukan ucapan almarhum ayahnya - meninggal delapan tahun silam.
Seperti diketahui film itu akhirnya tidak lagi wajib diputar setelah Suharto turun dari kursi presiden pada 1998.
Dalam atmosfer Orde Baru, di mana operasi pembersihan tokoh-tokoh PKI yang kabur ke Blitar selatan versi pemerintah menjadi sejarah tunggal, Farida kecil tumbuh besar di dalamnya.
Kelak, pengalaman seperti inilah membuatnya sempat bersikap reaktif ketika rekan-rekannya sesama aktivis NU menawarkan perspektif berbeda dalam melihat kekerasan di Blitar selatan yang melibatkan nama ayahnya.
Farida bersama suami dan putrinya yang berusia 10 tahun, sampai saat ini tinggal di rumah orang tuanya di Desa Bacem, Kabupaten Blitar - dulu secara sederhana disebut kawasan Blitar selatan.
Di salah-satu ruangan rumah itulah, ibunya mendidik anak-anak seumuran anaknya untuk belajar agama, nyaris saban sore. Di depan rumahnya berdiri musala, yang melalui pengeras suaranya, suara azan nyaring terdengar.
"Di desa ini, memang dari dulu basisnya NU," ujarnya. Ini berbeda dengan desa-desa tetangganya, utamanya di kawasan perbukitan, yang dikenal sebagai basisnya "merah" - sebutan khas untuk menyebut kawasan yang dulu mayoritas warganya berafiliasi ke PKI.
Ketika saya dan juru kamera Anindita Pradana, mendatangi kediamannya, pedang milik ayahnya itu tak lagi menempel di dinding ruang tamu. Farida tidak mengetahui kapan persisnya pedang itu diturunkan dari dinding. Alasan penurunannya, dia pun tak tahu juga. Barangkali ketika rumahnya sedang direnovasi, katanya.
Apakah masih menyimpan pedang itu? Tanya saya, dan dijawab "masih ada", tetapi dia "lupa" di mana menyimpannya.
Belakangan, suaminya, Masrukin, mengetahui di mana pedang itu disimpan. Dia kemudian menunjukkannya kepada kami - lengkap dengan sarungnya, yang panjangnya kira-kira satu meter dan sudah berkarat.
Sore itu, di minggu ketiga September, ketika langit di atas desa itu perlahan berubah menjadi kemerahan, kisah horor di balik keberadaan pedang itu seperti tersamar oleh waktu yang terus beranjak.
"Kami belakangan pernah menggunakannya untuk menangkap tikus di rumah," Masrukin tertawa kecil, yang kemudian menular pada istrinya.
Sikap enteng hati Farida dan Masrukin terkait peruntukan pedang itu di masa lalu, tentu tidaklah segampang membalik tangan.
Ada proses panjang yang mereka lalui sehingga mereka kini memiliki cara pandang baru tentang memori kolektif kekerasan tragedi 1965 di wilayahnya.
Ide rekonsiliasi Gus Dur bergaung hingga ke Blitar selatan
Setahun setelah Suharto turun dari kursi presiden, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tokoh sentral Nadhlatul Ulama (NU), yang terpilih menjadi presiden, menawarkan ide-ide rekonsiliasi.
Dihadapkan memori kolektif yang terbelah dan hubungan sosial yang retak akibat warisan sejarah tragedi 1965, Gus Dur memilih membangun jembatan rekonsiliasi dengan para penyintas kekerasan `65 - dan gaungnya sangat terasa di kalangan nahdliyin, hingga ke sudut desa di mana Farida tinggal.
"Gus Dur sejak awal mendengungkan bahwa memanusiakan manusia itu lebih penting daripada yang lain," Farida menyebut Gus Dur sebagai orang pertama yang menginspirasinya, sekaligus secara perlahan menyadarkannya dalam melihat ulang sejarah kelam seputar konflik berdarah antara orang-orang NU dan pendukung PKI pada 1968 di tempatnya tinggal.
Dalam beberapa kali forum tidak resmi, Gus Dur - saat menjadi presiden - dilaporkan telah meminta maaf kepada penyintas kekerasan pasca Oktober 1965. Dia juga dilaporkan mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXV/1966.
Seperti diketahui, ketetapan ini menyatakan tentang pembubaran PKI dan organisasi terlarang, serta larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Walaupun pernyataan Gus Dur itu mendapat penolakan keras dari kelompok-kelompok Islam dan TNI, termasuk dari sebagian kalangan internal NU, toh idenya tentang rekonsiliasi terkait kekerasan 1965 tak berhenti sampai di situ.
Sejumlah aktivis muda NU kemudian menindaklanjuti dan mengembangkannya, dengan membentuk organisasi bernama Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat - disingkat menjadi Syarikat, di awal 2000-an, yang dimotori Imam Aziz dkk di Yogyakarta.