Mimpi Semu Nenek Moyangku Seorang Pelaut
- dw
Namun di balik penghargaan dunia akan pengetahuan pembuatan perahu tersebut, penulis buku The Siren of Cirebon itu menemui kenyataan berbeda. Suatu waktu ketika awal 1990-an ia menjadi dosen untuk studi Antropologi di Universitas Hasanuddin dan Universitas Negeri Makassar, Liebner kerap memperlihatkan foto pembuat perahu di Pulau Bira yang berdiri dengan bangga di depan perahu kayu setelah selesai bekerja.
"Itu dulu slide kan, mahasiswa tertawa. Semester pertama saya heran, semester kedua saya tanya, kenapa tertawa?" Itu orang desa, kok sombong, jawab mahasiswa saya. Lalu saya tanya, kamu sebenarnya dari mana? Sopeng? Lalu satu nama desa disebut. Orangnya dari desa juga," kata Liebner sambil menambahkan rasa minder itu sudah muncul di tengah keluarga, ketika orang tua menegur anak yang malas dengan menyebut sang anak akan menjadi pembuat perahu.
Namun sikap yang sama ia temui juga dari para pejabat ketika menggelar Sandeq Race, merujuk pada lomba adu cepat perahu sandeq – perahu suku Mandar di Sulawesi Barat – yang digelar sejak tahun 1995.
Saat itu, para pelaut yang sudah berlayar sejauh 600 kilometer dengan rute Mamuju (Sulawesi Barat) – Makassar (Sulawesi Selatan), diminta untuk berenang dari perahunya menuju tempat yang disediakan. “Penghargaan ini untuk mereka, bukan untuk tamu,” kata Liebner menjelaskan, namun belakangan ia ditegur karena penampilan pelaut yang basah dianggap tidak menghargai para pejabat yang hadir. “Mereka tidak dihargai, penghargaan terhadap upaya mereka tidak diperhatikan,” tutur pria yang meneliti sandeq, yang dikenal sebagai perahu nirmesin tercepat di perairan Austronesia itu.
Lewat perahu, Indonesia mendunia
Menurutnya, persepsi yang kurang bangga akan tradisi maritim ini tumbuh karena sudah dibentuk di era kolonial Belanda. “Kalau kita lihat, karangan Belanda sebelum PD II yang mulai membahas sejarah Indonesia secara detail, cukup netral. Pada saatnya mereka membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan kemaritiman, Belanda selalu ada kesan: kebetulan. Itu kemungkinan besar karena mereka tidak ingin disaingi di laut, di darat kan sudah jelas. Melihat Borobudur. Apakah ada saingannya?” papar Liebner.
Tradisi maritim Indonesia tak hanya sebatas pinisi, yang menurut Liebner, artinya sebenarnya mengacu pada jenis sistem layar bukan jenis kapal yang dibangun oleh suku Konjo itu. Menurut catatan sejarah, jenis kapal lainnya dari Sulawesi Selatan yakni Padewakang, kapal dagang jarak jauh yang sudah berlayar hingga ke Tanjung Pengharapan, Afrika.