Kisah Cinta Pierre Tendean Ajudan Ganteng Jendral Nasution Korban G30S
- U-Report
VIVA – Peristiwa 30 September 1965 menyisakan kisah kelam dalam lembaran sejarah Republik Indonesia. Meski sudah terjadi 54 tahun yang lalu, namun peristiwa ini masih membekas dan menghantui sebagian besar masyarakat Indonesia.
Jika bicara soal peringatan Gerakan 30 September (G30S), ada sosok patriot yang tak lekang dalam ingatan. Seorang taruna Akademi Teknik AD (Atekad) berparas tampan yang rela berkorban hingga titik darah penghabisan, yup dia adalah Pierre Tendean.
Dilansir berbagai sumber, Pierre Tendean adalah taruna Atekad lulusan tahun 1961. Belum banyak yang tahu soal kisah hidup taruna ganteng ini.
Sejak duduk di bangku SMA Pierre memang sudah banyak ditaksir wanita. Dikutip dari buku Biografinya "Sang Patriot, Kisah Seorang Pahlawan Revolusi" dikatakan ada 3 wanita siswi SMA Dago yang taruhan untuk mendapatkan hati Pierre.
Namun sayangnya tak satupun dari gadis Bandung itu yang diterima oleh Pierre karena alasan sedang belajar untuk menyelesaikan pendidikan.
Pierre lahir di Batavia, 21 Februari 1939. Ia merupakan putra blasteran (Minahasa-Prancis) dari pasangan Aurelius Lammert Tendean (Minahasa) dan Maria Elizabet Cornet (Prancis Kaukasian).
Meski blasteran, namun Pierre tumbuh sebagai seorang Jawa medok karena pada 1950, keluargnya pindah ke Semarang. Di kota itu, Ayah Pierre yang dokter spesialis jiwa menjadi pimpinan Rumah Sakit Jiwa Pusat Semarang.
Pada 1958, Pierre memutuskan masuk militer. Padahal, keluarganya menginginkannya berkuliah di ITB. Atekad menjadi tempat bagi Pierre meniti ilmu sebagai prajurit TNI.
Di Atekad pun Pierre termasuk siswa yang populer. Selain disiplin, ia juga populer sebagai olahragawan, pemain bola basket, tenis, dan sepak bol. Hal itu membuatnya jadi komandan korps taruna.
Meski populer, ternyata Pierre kerap mendapat ledekan karena paras indonya. Pelecehan itu sering secara verbal berupa pertanyaan sindiran. Sesekali, Pierre pernah menjawab dengan nada marah.
Kisah cintanya dengan gadis Medan bermula saat dirinya lulus dari Atekad dan ditempatkan di Medan. Di kota itulah Pierre bertemu tambatan hatinya Rukimini Chamim, gadis Medan keturunan Jawa. Meski tak lama dinas di Medan, namun kisah cinta dengan Mimin (panggilan Rukmini) tetap berlanjut.
Pada pertengahan, 1963, Pierre mengikuti pelatihan intelijen di Pusat Pendidikan Intelijen (Pusdikintel), untuk dipersiapkaan mengawal Menteri Oei Tjoe Tat ke Malaysia.
Dikutip dari laman Histeria, Oei Tjoe Tat ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan semua pihak yang anti dengan pembentukan federasi Malaysia.
"Misi ini dilakukan Oei dan Pierre dengan cara menyamar. Oei berlakon sebagai pedagang Tionghoa. Sementara Pierre, dengan wajah bulenya cukup apik berperan sebagai turis," tulis di laman Histeria.
Setelah misi intelijen dalam Operasi Dwikora ganyang Malaysia, Pierre mendapat penugasan baru, sekaligus yang terakhir dalam hidupnya.
Pada April 1965, Pierre mulai dipercaya menjadi ajudan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pangkatnya naik jadi letnan satu dan tergolong ajudan termuda. Dari garis ibunya, Pierre masih berkerabat dengan Johana Sunarti Gondokusumo, istri Nasution.
Dalam pekerjaan sehari-hari mengawal Nasution, Pierre kerap jadi pusat perhatian karena ketampanannya. Apabila Nasution diundang sebagai pembicara dalam seminar atau konferensi, sosok Pierre ikut jadi sorotan terutama dari kaum hawa. Dari sinilah kemudian terkenal istilah,
“Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.”
Malam 1 Oktober 1965 jadi hari pengabdian terakhir Pierre bagi keluarga Nasution. Pierre jadi korban saat pasukan Tjakrabirawa hendak meringkus Nasution.
Saat itu, Pierre keluar dari paviliunnya untuk mengatasi kegaduhan dari pasukan-pasukan yang menyatroni kediaman Nasution.
Pasukan yang hendak menangkap Nasution malah menyangka Pierre sebagai Nasution dan membawanya ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Nasib Pierre kemudian dapat diketahui. Dirinya menjadi salah satu korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965 bersama enam perwira tinggi AD. Mereka yang gugur dalam peristiwa itu kelak disebut Pahlawan Revolusi.