Jalan Panjang Wahyu Pergi Sekolah dari Kampung Segeram, Natuna

Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Natuna
Sumber :
  • VIVA/Bimo Aria

VIVA – Minggu sore adalah salah satu hari yang tidak disukai Wahyu. Bukan hanya karena ia harus kembali berangkat ke sekolah, tapi, karena harus kembali berpisah dengan ayah ibunya. 

China's Natuna Aggression Challenges Indonesia's Defense Diplomacy

Wahyu Kurniawan adalah satu dari beberapa anak yang tinggal di Dusun Segeram, Natuna. Jarak Dusun Segeram dengan pusat kota Natuna di Ranai adalah 40 kilometer lebih atau sekitar tiga jam berkendara dengan jalur darat. Hampir sepertiga jalan yang ditempuh masih berbatu, beraspal, dan tidak jarang membuat kendaraan off road sekalipun terperosok. 

Tempat Wahyu tinggal sebenarnya bisa ditempuh lebih cepat lewat jalur laut. Waktu tempuhnya hanya kurang lebih satu jam dengan kapal cepat. Tapi, tidak setiap hari kapal cepat itu tersedia. Itu pun jika laut bersahabat. Laut China Selatan memang terkenal dengan dengan gelombangnya yang nyaris setinggi rumah. Sebuah kapal kecil akan demikian mudah diluluhlantakan gelombang. Maka dari itu pilihan jalur darat terasa lebih masuk akal dibanding mesti berdamai dengan lautan.  

Indonesia Urged to Enhance Military and Diplomatic Efforts in the South China Sea

Sejak lulus SD dua tahun silam, Wahyu terpaksa meninggalkan kedua orangtuanya nyaris setiap minggu.  Di Segeram, tempat Wahyu tinggal, tidak ada sekolah SMP. Pilihannya hanya dua, pindah tempat tinggal, atau putus sekolah. 

Baca Juga: Memprihatinkan, Ruang Kelas di MI Misbahus Sudur Pamekasan Tak Layak

PNM Mekaar Hadir di Pulau Natuna, Genjot Inklusi Keuangan di Wilayah 3 T

Wahyu mengambil pilihan pertama. Tapi, orangtuanya tidak punya cukup biaya jika harus memboyong seluruh keluarganya ke salah satu SMP terdekat. Ayahnya bekerja sebagai nelayan, yang penghasilannya tidak tentu. Saat gelombang sedang tinggi-tingginya membuat sang ayah tak bisa pergi ke laut. Ia kemudian pergi ke hutan mencari kayu untuk tetap bisa menafkahi keluarganya. Maka pilihan menitipkan Wahyu ke tempat salah satu saudaranya ialah yang paling terjangkau. 

Setiap Minggu sore tiba, Wahyu mesti mengemas baju dan keperluan sekolahnya ke dalam tas. Dengan motor bebek sang ayah, ia harus menempuh jarak kurang lebih dua jam ke daerah Batubi. Tentu saja seluruh jalannya nyaris tidak beraspal. 

"Aku suka kangen, biasa pagi orang tua bangunin tapi harus sendiri di sana nyiapin sekolah sendiri," ungkap Wahyu saat ditemui pada acara Bakti Nusantara, di Segeram, Natuna. 

Di Batubi, jarak tempat tinggal Wahyu ke sekolah memang jauh lebih dekat. Ia hanya perlu 5 menit untuk bisa sampai ke sekolah. Tapi hal itu membuatnya jauh dari orangtua. Ia juga harus menyiapkan keperluan sekolahnya sendiri. 

"Semua sendiri, baju saya yang siapin setrika sendiri, karena kami kan sudah gede," kata Wahyu. 

Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Natuna

Jika Sabtu tiba, ia kembali bisa melepas rindu dengan orangtua. Rutinitas itu terus Wahyu lakukan selama satu tahun lamanya. Wahyu mungkin hanya satu dari beberapa anak Segeram yang terpaksa pindah untuk melanjutkan sekolah. 

Beberapa keluarga lainnya memilih memboyong seluruh keluarganya demi sang anak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Hal inilah yang membuat Dusun Segeram ditinggalkan warga. Kini hanya tersisa 32 Kepala Keluarga dari yang sebelumnya ada sekitar 100 kepala keluarga. 

Sejak dibangun sekolah SMP Negeri 3 Satap Bunguran Barat, yang diinisiasi oleh Bakti Nusantara, pada Desember 2018, Wahyu bersama beberapa teman lainnya kini bisa kembali ke Segeram. Jarak dari rumah ke sekolahnya bahkan tidak lebih dari 5 menit. Sekarang, ia juga tidak perlu lagi jauh dari orangtuanya. 

"Seneng bisa dekat sama orangtua, bisa dekat sama orangtua enggak perlu kangen lagi," kata Wahyu yang bercita-cita sebagai dokter ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya