DPR Setujui Batas Usia Perkawinan Jadi 19 Tahun, Ini Alasannya
- Freepik/freepik.diller
VIVA – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menyetujui ditetapkannya batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun.
Keputusan ini disepakati dalam rapat panitia kerja Baleg DPR RI bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM terkait Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Keputusan ini memang sangat ditunggu masyarakat Indonesia, untuk menyelamatkan anak dari praktik perkawinan anak yang sangat merugikan baik bagi anak, keluarga maupun negara. Selama 45 tahun, akhirnya terjadi perubahan UU perkawinan demi memperjuangkan masa depan anak-anak Indonesia,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise Yohana dalam siaran persnya, Kamis, 12 September 2019.
Baca juga: Sandiaga Uno Ungkap Penyebab Tumbangnya Mandala Airlines?
Menurut ? Yohana atas nama pemerintah, ia sangat mendukung agar RUU Perkawinan dapat segera dibahas dalam pembicaraan tingkat dua serta segera disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna, maksimal September ini. Hal ini merupakan permohonannya mewakili suara anak-anak Indonesia.
Dinilai telah matang
Menteri Yohana mengatakan pertimbangan batas usia 19 tahun ditetapkan, karena anak dinilai telah matang jiwa dan raganya.
“Pertimbangan batas usia 19 tahun ditetapkan karena anak dinilai telah matang jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan secara baik, tanpa berakhir pada perceraian serta mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Kami harap kenaikan batas usia ini dapat menurunkan risiko kematian ibu dan anak, serta memenuhi hak-hak anak demi mengoptimalkan tumbuh kembangnya,” tuturnya.
Disusun bersama
Pertimbangan untuk menaikkan batas usia tersebut juga telah dijelaskan dalam naskah akademik yang disusun Kemen PPPA bersama 18 kementerian/lembaga dan lebih dari 65 lembaga masyarakat pada Juni 2019. Pertimbangan dihasilkan melalui berbagai kajian teoritik, praktek empiris, serta kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru.
Rapat pembahasan RUU ini dilaksanakan untuk menindaklanjuti Surat Presiden 6 September 2019 yang dikirimkan kepada Ketua DPR RI, agar melakukan penyempurnaan UU Perkawinan. Melalui perubahan UU Perkawinan dengan menindaklanjuti putusan MK RI Nomor 22/PUU-XV/2017 yang merevisi Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yaitu “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.”
PKS dan PPP menolak
Sementara itu delapan dari 10 fraksi yang hadir dalam Rapat PANJA menyetujui batas usia perkawinan menjadi 19 tahun. Namun, dua anggota DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifah Amalia dan fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ach Baidowi memilih menolak.
Alasan mereka bahwa batas usia perkawinan seharusnya 18 tahun, alasannya karena masih banyak budaya masyarakat Indonesia, khususnya di desa yang mempraktikan perkawinan usia anak.
Masuk rapat paripurna
Selanjurnya hasil rapat PANJA terkait RUU Perkawinan ini akan dibahas dalam pembicaraan tingkat dua pada Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
“Insya Allah, rapat paripurna akan diselenggarakan pada 17 September 2019 mendatang,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi, Sudiro Asno yang juga menjadi Ketua Panitia Kerja.
Adapun kesimpulan dari pembahasan RUU Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disepakati dalam Rapat PANJA, berkaitan dengan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (4), antara lain yaitu :
1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
3. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).