BJ Habibie, Sosok Inspiratif Kebanggaan Indonesia
- instagram @habibiecenter
VIVA – Bacharuddin Jusuf Habibie atau lebih dikenal dengan nama BJ Habibie, merupakan presiden Indonesia ketiga. Beliau lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936.
BJ Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Sang ayah merupakan seorang ahli pertanian dari Gorontalo keturunan Bugis. Sedangkan sang ibu asal Jawa dan merupakan anak dari dokter spesialis mata di Yogyakarta.
Kisah hidupnya penuh inspirasi dan BJ Habibie menjadi kebanggaan Indonesia karena kecerdasannya. Ia adalah ahli pembuat pesawat terbang dari Indonesia yang diakui dunia internasional. Tak hanya di bidang teknologi, ia juga pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Keahliannya dalam bidang tekonologi telah mengantarkannya ke dunia teknokrat. BJ Habibie pernah menjadi penasihat presiden hingga menjadi menteri riset dan wakil presiden pada masa Presiden Soeharto. Puncaknya, ia menjadi Presiden RI ke-3 menggantikan Soeharto yang mundur karena tuntutan Reformasi.
Dalam hal pendidikan, BJ Habibie, pernah bersekolah di SMAK Dago, Bandung, dan meneruskan kuliah selama 6 bulan di Institut Teknologi Bandung dengan studi Teknik Mesin pada tahun 1954. Setahun kemudian, ia melanjutkan studi teknik penerbangan selama 10 tahun di Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule (RWTH), Aachen, Jerman. Habibie meraih 2 gelar sekaligus yaitu Diplom Ingenieur pada 1960 dan Doktor Ingenieur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.
Di sela-sela kuliahnya, Habibie sempat kembali ke tanah air, kemudian menikah dengan Ainun pada 12 Mei1962. Mereka dikarunia 2 anak yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie dan 6 cucu. Habibie dan Ainun kemudian tinggal di Jerman. Habibie harus bekerja keras untuk membiayai rumah tangga dan biaya kuliah doktoralnya. Ia juga mendalami teknik dan konstruksi pesawat terbang.
Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman, yaitu Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) pada 1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer dari tahun 1969 hingga 1973.
Atas kinerja dan kredibelitasnya, ia pun dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihat Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978). Dialah satu-satunya orang Asia yang menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Mengetahui kecerdasan Habibie, Presiden Soeharto tak tinggal diam. Ia mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui dan membujuk Habibie pulang ke Indonesia, Habibie bersedia dan melepaskan jabatan dan prestasinya di Jerman.
Habibie pun diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung dibawah presiden) di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga 1978. Setelah itu, ia diangkat Soeharto menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 2 dekade mulai dari 1978 hingga 1998.
Lalu, 14 Maret 1998 Habibie terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan VII. Ia juga menduduki posisi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) saat masih menjadi menteri.
Tragedi Mei 1998, awal muncul Era Reformasi membawa perubahan posisi Habibie. Kerusuhan Mei 1998 yang melanda beberapa kota di Indonesia dan berpusat di Jakarta telah menggulingkan Presiden Soeharto yang sudah menjabat selama 32 tahun. Hal itu menyebabkan Habibie naik ke kursi Presiden terhitung sejak 21 Mei 1998.
Meski singkat menjadi presiden, tapi Habibie berhasil membuat trobosan untuk Indonesia di antaranya yaitu Undang-Undang Anti Monopoli atau Undang-Undang Persaingan Sehat, Undang-Undang Partai Politik, dan Undang-Undang Otonomi Daerah.
Setelah tidak menjabat sebagai presiden lagi, Habibie memilih tinggal di Jerman. Namun, pada era kepresidenan SBY, Habibie kembali aktif sebagai penasihat presiden dalam rangka mengawali proses demokrasi di Indonesia melalui organisasi yang didirikannya (Habibie Center). Ia juga aktif kembali di Partai Golkar sebagai Ketua Dewan Penasehat.
Pada 22 Mei 2010, Habibie harus kehilangan sang istri akibat kanker ovarium yang dideritanya. Sebagai bentuk kecintaan Habibie kepada mendiang istrinya, Ia menulis sebuah buku bertajuk Habibie & Ainun setebal 323 halaman yang kemudian diangkat ke film layar lebar dengan judul yang sama.