Dusta Wanita Tua di Balik Tragedi Gugurnya Prajurit TNI di Rusuh Papua
- TNI AD
VIVA – Endang Susilawati tak henti menangis, di hadapannya terbujur kaku jenazah sang suami. Serda (Anumerta) Rikson Edi Chandra.
Ya, suami Endang Susilawati adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia yang gugur sebagai kusuma bangsa dalam menjalankan tugas menjaga keamanan negara di Papua.
Rikson Edi wafat akibat terluka parah setelah diserang dengan massa pro referendum yang membonceng massa demonstrasi anti SARA.
Yang paling mengharukan, almarhum merelakan darahnya tumpah demi menjaga rumah dinas Bupati Deiyai, Papua agar tak dihancurkan massa.
Serda Rikson merupakan prajurit dari kesatuan Batalyon Kavaleri (Yonkav) 5/Dwi Pangga Ceta (DPC) Karang Endah, Muara Enim, Sumatera Selatan.
Dia rela jauh-jauh meninggalkan istri dan dua anaknya ke Papua bukan untuk kembali tanpa nyawa. Tapi takdir berkata lain, Rabu 28 Agustus 2019, dia berpulang ke rahmatullah.
"Saat kejadian, dirinya sedang melaksanakan tugas pengamanan aksi unjuk rasa dari kelompok masyarakat Papua yang menuntut akibat kejadian rasisme di Surabaya. Aksi yang berujung anarki tersebut, menyebabkan lima aparat keamanan gabungan TNI-Polri terluka akibat terkena panah dan salah satunya Serda (Anumerta) Rikson gugur di tempat kejadian," kata Kepala Penerangan Kodam II/Sriwijaya Kolonel Inf Djohan Darmawan seperti dilansir situs resmi TNI AD.
Rusuh Papua
Bumi timur Indonesia memanas setelah terjadi pelecahan berbau ras yang dialami mahasiswa Papua yang sedang menimba ilmu di Surabaya, Jawa Timur.
Puncaknya terjadi pada Rabu 28 Agustus 2019, Papua benar-benar membara. Kerusuhan pecah di mana-mana. Massa yang tadinya menuntut keadilan atas kasus SARA di Surabaya berubah arah menjadi isu merdeka.
Ya, demonstrasi yang tadinya berjalan damai mendadak memanas setelah ribuan orang pro referendum turun gunung dan membuat kerusuhan. Papua benar-benar mencekam.
Namun, semua huru hara dan menyebabkan tewasnya Serda Rikson bukan tanpa pemicu. Bukan tanpa dalang. Bukan tanpa tak disengaja. Tapi nyata-nyata ada yang menciptakannya. Siapa orangnya?
Dia adalah Tri Susanti alias Susi. Dia adalah orang yang membuat kebohongan sehingga terjadi aksi penggerudukan ke asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya.
"Ini masalah Undang-Undang ITE, menyebarkan informasi hoax," kata Kepala Polda Jatim, Inspektur Jenderal Polisi Luki Hermawan di Markas Polda Jatim di Surabaya.
Susi bukan orang biasa, dia cukup ngetop. Dia merupakan calon legislatif dari Partai Gerindra, dia juga salah satu saksi yang pernah dihadirkan tim kuasa hukum BPN Prabowo-Sandi di persidangan sengketa Pemilihan Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Kamis 29 Agustus 2019, Susi sudah jadi tersangka. Dia Susi dijerat polisi dengan Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-undang ITE dan atau Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 14 ayat (1) dan atau ayat (2) dan atau Pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana.
Ada sejumlah barang bukti dikantongi penyidik dari kasus ini. Di antaranya, lebih dari satu telepon genggam, di antaranya milik Susi, foto cuplikan percakapan Susi di grup WhatsApp yang berisi ajakan aksi ke Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, dan foto tangkapan layar saat Susi saat diwawancara sebuah stasiun televisi swasta.
Ada dua bukti kuat yang dinilai penyidik, Susi disangka menyebarkan informasi hoax dan provokatif. Di antaranya, saat diwawancara televisi pada Jumat, 16 Agustus 2019.
Dalam wawancara Susi menyampaikan: setelah ditinggal, ternyata bendera tersebut dirobek, dimasukkan selokan dan dipatah-patahkan. Ini yang membuat amarah dari ormas dan masyarakat Surabaya. Padahal, kata Kapolda, kondisi bendera Merah Putih saat itu tidak sobek. Hanya tiangnya yang terlihat ada bekas patahan.
Bukti kedua ialah pesan yang diunggah Susi di grup WA berbunyi:
Mohon perhatian urgent. Kami butuh bantuan massa karena anak Papua akan melakukan perlawanan dan telah siap dengan senjata tajam dan panah. PENTING PENTING PENTING.
Padahal, tidak diketahui pasti soal keberadaan senjata yang disebut dalam sebaran pesan disiapkan oleh penghuni asrama Papua.
Kapolda mengatakan, dalam kasus itu Susi tidak terjerat karena lontaran berbau rasialisme. Kepolisian juga tidak mengusut dugaan rasialisme dilakukan oleh oknum TNI. "Kami tidak mengusut itu," kata Luki.
Pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya terjadi pada Jumat-Sabtu 16-17 Agustus 2019 dan Susi merupakan koordinator pengepungan itu. Hingga tercipta lontaran kalimat rasialisme di tengah masa.
Kondisi semakin memanas karena ada yang sengaja menyebarkan informasi bohong tentang adanya mahasiswa Papua yang tewas dalam pengepungan di Asrama Kalasan itu.
Mungkin Susi tak menyadari efek besar dari dusta yang telah diciptakannya itu. Tapi, lihatlah. Ada anak kecil bernama Richard D (13 tahun dan Shakira (9 tahun) harus kehilangan sosok seorang ayah. Ayah yang tewas menjaga negara.
Mereka adalah putra dan putri Serda Rikson. Mereka kini menjadi anak yatim karena ulah pencipta kebohongan seperti Susi.