Mencari Jejak Pengawal Jenderal Sudirman
- dw
Sejarah resmi Indonesia menghapus nama Letkol Suadi karena ia dianggap perwira "Kiri”, sehubungan dengan Peristiwa Madiun 1948. Tuduhan "Kiri” terhadap Suadi seharusnya gugur, ketika dirinya ditarik menjadi Komandan Pasukan Kawal Panglima Sudirman selama gerilya. Jika benar Suadi adalah simpatisan FDR, bagaimana mungkin Pak Dirman merekrut seorang perwira yang dianggap terlibat pemberontakan terhadap pemerintah yang sah? Seandainya tak dipercaya Pak Dirman, tentu Suadi tidak dilibatkan dalam perjalanan gerilya.
Hipotesis yang mungkin bisa diajukan adalah, Soeharto ingin selalu dominan dalam banyak hal, dia tidak mau ada pesaing, termasuk dalam soal pencitraan, siapa yang paling dekat dengan Sudirman. Secara singkat bisa dikatakan, bahwa hanya dirinya yang bisa disebut perwira yang paling dekat dengan Sudirman, bukan Suadi.
Melepas karier
Dari penelusuran penulis, setidaknya ada dua nama (pengawal) lagi yang namanya seperti hilang dari catatan sejarah, yakni Utoyo Kolopaking dan Bambang Sumadio. Kasusnya sedikit berbeda dengan Letkol Suadi, yang memang ada rekayasa sistemik dari Soeharto. Utoyo Kolopaking dan Bambang Sumadio "menghilang” secara alamiah, sebab mereka dengan sengaja meninggalkan dunia militer selepas periode perang kemerdekaan, dengan memasuki perguruan tinggi umum, yakni Universitas Indonesia (UI). Utoyo menempuh pendidikan di fakultas hukum, dan Bambang Sumadio memilih jurusan purbakala (kini arkeologi).
Saat mengikuti perjalanan gerilya, Utoyo masih berstatus sebagai taruna tahun terakhir pada MA (Akademi Militer) Yogya angkatan kedua. Angkatan pertama sudah dilantik sebagai perwira remaja pada November 1948, beberapa saat sebelum serbuan tentara Belanda pada Clash II, 19 Desember 1948. Bersamaan dengan berakhirnya Perang Kemerdekaan, taruna MA angkatan kedua, kemudian dilantik juga sebagai perwira muda (letnan dua), termasuk Utoyo Kolopaking.
Namun ketika ada kesempatan untuk masuk perguruan tinggi umum, Utoyo Kolopaking rela melepas statusnya sebagai perwira, untuk masuk Fakultas Hukum UI. Utoyo kemudian mengabdi di almamaternya sebagai salah seorang dosen di FHUI. Demikian juga dengan Bambang Sumadio, yang saat mengawal Pak Dirman berpangkat sersan. Selepas lulus dari jurusan purbakala UI, pada pertengahan tahun 1950-an, Bambang juga mengabdi sebagai dosen pada Jurusan Arkeologi UI sampai tahun 1980-an. Bambang sempat juga ditugaskan sebagai Kepala Dinas Purbakala, serta Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Belanda.
Utoyo dan Bambang seolah memiliki identitas baru. Bagi yang baru mengenalnya belakangan, atau bagi para kolega di kampus (termasuk para mahasiswa), bisa jadi tidak pernah menyangka, bahwa mereka pernah mendampingi Jenderal Sudirman dalam perjalanan gerilya yang sangat monumental itu.