Soal Enzo, Moeldoko: Bisa Saja TNI Kecolongan
- VIVA/Eduwar Ambarita
VIVA – Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, mengatakan kalau potensi TNI kecolongan 'paham radikalisme' saat seleksi penerimaan peserta Akademi Militer (Akmil) sangat mungkin terjadi. Tetapi, pada perjalanannya, TNI pasti mengetahui peserta yang terpapar dan sudah pasti akan mengeluarkan peserta didik itu.
Kepala Staf Kepresidenan itu menanggapi pernyataan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Mahfud MD, yang menyebut bahwa TNI kecolongan dalam proses seleksi penerimaan WNI keturunan Prancis, Enzo Zenz Allie, di Akmil. Enzo jadi kontroversi karena dikabarkan terpapar radikalisme.
“Dalam arti di dalam tes (masuk Akmil) itu, sangat memungkinkan (kecolongan) itu terjadi, jadi bukan sesuatu yang tidak mungkin, pastilah dari sekian banyak yang kita periksa dan seterusnya, dari macamnya kriteria, ada kecolongan,” kata Moeldoko kepada wartawan usai acara di kampus C Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, pada Sabtu, 10 Agustus 2019.
Kecolongan bisa terjadi karena masalah yang dipolemikkan ialah soal psikologi peserta didik. Hal yang perlu dipahami, kata Moeldoko, di internal TNI dikenal yang namanya penelitian personel secara bertahap dan berlanjut. Dari waktu ke waktu perkembangan personel TNI diamati.
“Apalagi dalam pendidikan itu akan diikuti dengan baik. Ternyata pada suatu saat nanti (ada peserta didik terpapar radikalisme) yang telanjur masuk atau kecolongan, bisa itu terjadi, karena sulit melihat orang. Contohnya biasa nyuri, itu sulit tidak bisa dilihat dari psikologi biasa, kita di taruna sering ada begitu. Begitu dia melakukan sesuatu di kampus, di Akmil, maka saat itu juga akan dikeluarkan,” kata Moeldoko.
Sebelumnya, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa mengungkapkan pihak TNI AD saat ini tengah melakukan pemeriksaan secara objektif dengan parameter yang terukur terhadap Enzo yang dituding terpapar radikalisme.
“Akan ada pemeriksaan yang lebih saintifik, lebih ilmiah. Menggunakan parameter yang sudah teruji untuk melihat dirinya, bukan orangtuanya, bukan siapa, karena kita ingin objektif," ujar Andika di kampus UGM, Jumat, 9 Agustus 2019.