23 Tahun di Penjara Malaysia, WNI Asal Aceh Bebas dari Hukuman Mati
- VIVA/Dani Randi
VIVA – Tiga terpidana mati warga negara Indonesia asal Aceh merasa bersyukur, mereka dapat pengampunan dari Raja Malaysia setelah proses negosiasi yang cukup panjang mulai dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo.
Ketiga terpidana itu ialah Bustamam bin Bukhari, Tarmizi bin Yaacob, dan Sulaiman bin Ismail. Awalnya mereka ditangkap karena kasus narkoba jenis ganja.
Kasus itu bermula saat mereka datang ke Malaysia pada 1996. Pertama, Bustamam yang bekerja jadi tukang bangunan. Begitu pun Tarmizi. Lantas, mereka tergiur menjual ganja di negeri Jiran, Malaysia.
Keasyikan menjual ganja, ternyata mereka dijebak oleh polisi di Malaysia. Mereka tak sadar, pembeli adalah seorang polisi. Keduanya lalu ditangkap di Kuala Lumpur pada 1996, saat itu Bustamam berusia 19 tahun, sedangkan Tarmizi 23 Tahun.
Hakim di Malaysia menjatuhkan hukuman 23 tahun penjara dengan tuntutan awal ialah hukuman mati. Setelah mendekam di penjara selama 23 tahun, akhirnya mereka bebas.
Sementara itu, Sulaiman, ditangkap pada 2004. Dia mengaku, datang ke Malaysia pada awalnya memang ingin berjualan ganja. Namun, barang haram itu tidak didapatkan dari Aceh, melainkan dari Vietnam.
"Itu (ganja) datang dari Vietnam sebenarnya. Cuma melalui Thailand masuknya. Makanya di Malaysia tu terkenalnya ganja Thailand," katanya saat berjumpa dengan Pemerintah Aceh, di Dinas Sosial Aceh, Kamis, 8 Agustus 2019.
Sama dengan Bustamam dan Tarmizi, Sulaiman juga masuk perangkap, dijebak oleh polisi. Berdasarkan penuturannya, dia dijebak oleh orang kepercayaannya yang juga berasal dari Aceh.
Mereka bertiga dipenjara terpisah. Bustamam mengatakan, dia sempat dipindahkan beberapa kali ke Lembaga Pemasyarakatan di Malaysia. Bahkan jarak pindahnya antar negara bagian. Begitupun dengan Tarmizi dan Sulaiman.
"Saya paling betah di Trengganu. Di sana ada kolam ikan, saya bisa bekerja pelihara. Waktu mau dipindah lagi, saya minta jangan, tapi ya dipindah juga," kata Bustamam.
Pada 2010, setelah sekian lama mendekam di penjara, ketiga WNI tersebut dijatuhi hukuman mati yang bersifat final dan mengikat di Mahkamah Persekutuan Malaysia.
"Makan tak enak, tidur tak enak, semua tak enak, saya cuma ingat Allah," ungkap Bustamam, mengenang saat-saat divonis mati.
Mereka bertiga, didampingi kuasa hukum yang ditunjuk KBRI kemudian mengajukan banding. Tahun 2012, mereka mendapatkan pengampunan dari Yang di-Pertuan Agong Malaysia sehingga hukumannya diturunkan dari hukuman mati menjadi hukuman penjara selama 20 tahun.
Di dalam penjara, ketiganya berkelakuan baik. Sulaiman bahkan mengaku bertaubat dan kerap memanfaatkan waktu di penjara dengan ibadah. Dia dapat ruang khusus, satu kamar sendiri lengkap dengan fasilitas kipas angin, karena sering menjadi imam dan penceramah di musala penjara.
Begitu pun Tarmizi dan Bustamam di penjaranya masing-masing. Mereka giat beribadah. Hingga pertengahan 2019, Yang di-Pertuan Agong Malaysia kembali memberikan pengampunan untuk kedua kalinya. Hasilnya, ketiga WNI tersebut dapat langsung bebas.
Mereka tiba di kampung halamannya di Bireuen, Aceh, setelah Kementerian Luar Negeri menyerahkan mereka ke Dinas Sosial Aceh pada Kamis, 8 Agustus 2019.
“Kami bersyukur, dan ini mungkin jadi pelajaran ke depan,” ujar Bustamam.