Tumpahan Minyak di Perairan Karawang, Ekonomi Warga 4 Desa Terdampak
- VIVA/Ridho Permana
VIVA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kembali menyoroti kasus pencemaran minyak mentah blok Pertamina di perairan Karawang. Tumpahan minyak telah berdampak pada lingkungan dan ekonomi warga sekitar pesisir Karawang.
Pengkampanye Energi dan Perkotaan Walhi Eksekutif Nasional, Dwi Sawung, mengungkapkan pencemaran minyak akibat kelalaian pengeboran produksi minyak sumur YYA 1 menyebabkan 45,37 km persegi lautan tercemar pada tanggal 18 Juli 2019. Data luasan tercemar itu, kata Dwi, diperoleh Walhi dari citra satelit ESA sentinel 1 yang bisa diakses oleh publik.
"Luasan ini akan terus bertambah, karena sumber pencemarannya masih belum teratasi. Butuh waktu berminggu-minggu lagi untuk menutup sumur tersebut. Angin mendorong pencemaran minyak ke arah barat, laporan terakhir masyarakat sudah sampai ke Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu," ucapnya di kantor Walhi pusat, Jakarta Selatan, Senin 29 Juli 2019.
Tumpahan minyak sudah menyebabkan tambak-tambak di Karawang dan Bekasi mengalami kegagalan panen. Kehidupan nelayan di pesisir Jawa Barat dan DKI Jakarta terganggu. Lokasi pariwisata pantai di Karawang sampai ditutup karena lokasi pantainya tercemar oleh tumpahan minyak.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong mengatakan, sedikitnya empat desa terdampak akibat tumpahan minyak yang terjadi pada 12 Juli 2019 lalu.Â
"Laporan yang kami terima dari jaringan kami di lokasi, ada empat desa yang sudah terdampak. Sebenarnya lebih dari empat," kata Meiki.
Meiki pun menjabarkan empat desa itu, di antaranya, Desa Pusaka Jaya, Cemara Jaya, Pasir Jaya dan Desa Sungai Buntu. Hanya saja, di Desa Sungai Buntu yang merupakan desa wisata memiliki dampak yang signifikan bagi penambak ikan dan udang.
"Di sana ada budi daya tambak ikan, tumpahan minyak ini sudah masuk ke beberapa tambak ikan dan tambak udang, jadi sudah tercemar. Udangnya sudah ada yang ditemukan mati, ikannya juga," ucapnya. D
Dari dampak sosial yang dialami warga sekitar, lanjut Meiki, yaitu berkurangnya pendapatan mereka. Dari mayoritas warga yang berprofesi nelayan, sekitar 75 persen sampai 80 persen pendapatan mereka berkurang, karena tidak bisa melaut lagi, begitu juga dengan pendapatan petambak ikan dan udang.
"Di sektor pariwisata ada sekitar 300 warga yang berada di kawasan wisata bahari yang bergantung di sektor pariwisata ini kehilangan mata pencaharian dan pendapatan. Karena sejak kejadian ini, sudah tidak ada lagi wisatawan yang datang, mereka keluhkan itu," ucapnya.
"Kami mendesak dan berharap kepada pihak Pertamina agar tuntas dalam melakukan upaya-upaya pemulihan. Selain itu bagaimana antisipasi ke depannya, ada 32 sub zona pertambangan yang harus diawasi," kata dia. (ren)
Â