Baiq Nuril: Terima Kasih Pak Presiden
- VIVA/Eduward Ambarita
VIVA –Terpidana kasus penyebaran konten asusila, Baiq Nuril Maknun, bersyukur Presiden Jokowi akhirnya mengajukan amnesti.
Saat mengikuti jalannya Rapat Paripurna di Gedung DPR, Baiq menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang memberikan dukungan.
Saat ini, ia sedikit lega, kasusnya gara-gara menyebarkan percakapan mesum sang atasan, juga mendapat perhatian dari parlemen. Setidaknya, surat Amnesti dari Presiden yang dikirim ke DPR segera diproses dan berbuah pengampunan hukuman.
"Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah, terima kasih teman-teman semua yang tetap mensupport saya terutama dari media yang sampai saat ini terus mendukumg saya. Dan saya berterima kasih pertama pada Pak Presiden atas perhatiannya yang sampai saat ini," kata Baiq di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa 16 Juli 2019.
Di kesempatan yang sama, pengacara Baiq Nuril, Widodo menyampaikan, bahwa permohonan Amnesti yang diajukan Presiden Jokowi segera diproses oleh Dewan. Jika permohonan itu dikabulkan, kata dia, hal itu akan menjadi sejarah.
Dalam sejarahnya pemberian amnesti selalu diberikan kepada narapidana atau tahanan yang terkait urusan politik. "Artinya ini merupakan terobosan hukum, equality before the law. Bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum," ujarnya.
Dalam pendampingan Nuril, Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka, mengatakan alur mekanisme proses permohonan Amnesti hingga nanti diputuskan Jokowi sebagai Keputusan Presiden.
Setelah surat masuk ke DPR, Badan Musyawarah akan menggelar rapat dan kemungkinan menunjuk Komisi III memberi pertimbangan dan pendapatnya terkait kasus Baiq Nuril.
"Komisi III kemudian dibawa lagi ke rapat bamus, lalu akan dibawa lagi ke rapat paripurna sebagai keputusan tertinggi DPR," kata Rieke.
Sebelumnya Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menyampaikan sejumlah pertimbangan ketika ingin mengabulkan atau tidaknya permohonan tersebut.
Selain melihat fakta - fakta dalam persidangan Baiq Nuril. Komisi Hukum juga akan meninjau kembali Pasal 27 ayat 1 Undang - Undang ITE yang digunakan untuk menjerat guru asal Nusa Tenggara Barat itu.
"Terakhir (pertimbangan) suara - suara keadilan yang disuarakan hak sipil itu harus dipertimbangkan," kata dia.