Dinilai Langgar Kesepakatan, Warga Tolak Pendirian Gereja di Bantul
- VIVA.co.id/ Cahyo Edi (Yogyakarta)
VIVA – Sebuah Gereja Pantekosta di Indonesia yang berada di RT 34, Gunung Bulu, Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, mendapatkan penolakan dari warga setempat. Warga beralasan, izin bangunan gereja tersebut merupakan rumah tinggal dan bukan untuk rumah ibadah.
Pendeta Tigor Yunus Sitorus (36) menceritakan, pada 2003, dia membeli sebidang tanah seluas 335 meter persegi di Gunung Bulu. Saat membeli tanah itu, Sitorus sejak awal ingin menggunakannya sebagai rumah ibadah atau gereja.
Namun, keinginan Sitorus kala itu mendapatkan penolakan dari warga. Sitorus saat itu diminta menandatangani surat kesepakatan yang berisi, jika tanah yang dibelinya itu "hanya diperuntukkan untuk rumah tinggal".
Sitorus mengaku saat itu, dia sempat pula mendapatkan tekanan dari banyak pihak. Bangunan yang telah didirikannya itu, tiba-tiba dirusak dan dirobohkan oleh orang tak dikenal.
“Tiba-tiba waktu kami bangun itu (bangunan gereja di tahun 2003) dirusak dan dirobohkan. Saya tidak tahu siapa yang merobohkan. Kemudian, saya mendapat panggilan dari kelurahan untuk pertemuan mediasi dengan warga," ujar Sitorus, Selasa 9 Juli 2019.
Sitorus menerangkan bahwa saat itu, dia diminta untuk membuat surat kesepakatan bersama. Namun, Sitorus enggan membuat surat kesepakatan bersama. Selang beberapa hari usai mediasi, Sitorus didatangi oleh Kepala Dusun. Saat itu Sitorus disodori sebuah surat dan diminta menandatanganinya.Â
"Saya terpaksa menandatanganinya. Surat itu bukan saya yang membuatnya. Saya hanya disuruh menandatanganinya. Hingga saat ini saya belum pernah mendapatkan kopiannya (surat pernyataan yang ditandatangani Sitorus)," ujar Sitorus.
Sitorus mengaku usai peristiwa di 2003 itu, dia tetap menggelar ibadah bersama jamaah. Ibadah itu digelar secara tertutup.Â
Di 2016, Pemerintah Kabupaten Bantul melakukan pemutihan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tempat ibadah. Peraturan itu didasari Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Bantul Nomor 98 Tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Tempat Ibadah.Â
Sitorus pun kemudian mengajukan pemutihan IMB rumah ibadah tersebut. Setelah mengajukan di 2017, Pemkab Bantul pun menerima pemutihan yang diajukan Sitorus. "Saya mengajukannya tahun 2017. IMB turun pada Januari 2019. Saya menunggu selama dua tahun," kata Sitorus.
IMB pendirian Gereja Pantekosta itu teregister dengan nomor 0116/DPMPT/212/I/Januari dengan tanggal dikeluarkan 15 Januari 2019. Dalam IMB itu bangunan milik Sitorus tersebut tertulis nama Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu.
Usai mendapatkan IMB tersebut, Sitorus pun kemudian menggelar ibadah secara terbuka. Bersama 50 orang jamaahnya, Sitorus setiap hari Minggu pagi menggelar ibadah.
"Mulai dipakai untuk ibadah sekitar bulan April 2019. Jumlah jamaah saat ini ada 50 orang dari berbagai daerah seperti Papua, Sumba, Kalimantan maupun Sumatera. Kebanyakan jamaah adalah mahasiswa," ujar Sitorus.
Sementara itu, seorang warga RT 34, Gunung Bulu, Bandut Lor, Hanif Suprapto (46) mengungkapkan, keberadaan Gereja Pantekosta yang didirikan di rumah Sitorus mendapatkan penolakan dari warga.
Hanif menyebut, pada 2003, telah ada kesepakatan bersama antara warga dengan Sitorus. Ia menuding, Sitorus telah melanggar kesepakatan bersama dengan warga. Hanif pun menyebut, Sitorus telah mengkhianati warga.
"Ini sebuah kebohongan. Kebohongan pada warga dan pemerintah. Proses (pendirian rumah ibadah) secara prosedur juga bermasalah. Izin di kelurahan sebagai tempat tinggal, sedangkan di kabupaten izin sebagai tempat ibadah," ujar Hanif.
Hanif menerangkan, saat pengajuan IMB, warga sekitar rumah Sitorus tak ada yang dimintai izin. Hanif pun menyebut bahwa syarat pendirian rumah ibadah haruslah mempunyai jamaah dalam jumlah tertentu.Â
"Mayoritas warga Gunung Bulu beragama Islam. Warga merasa terusik dengan aktivitas ibadah itu. Kita di sini melindungi anak cucu kita. agar tak terpengaruh," tegas Hanif.
Hanif juga menuding, aktivitas ibadah di tempat Sitorus telah mengganggu keharmonisan warga di Gunung Bulu. Warga, lanjutnya, menjadi tak lagi harmonis karena ada aktivitas tertentu di rumah Sitorus.
"Kita paham Lakum Dinukum Waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Tak ada paksaan dalam beragama, kami paham. Tetapi, ini secara hukum menyimpang. Kami (warga) menuntut keadilan," kata Hanif.
Sedangkan menurut Ketua RT 34, Syamsuri (52) warga telah sepakat untuk menolak adanya pendirian rumah ibadah di daerahnya. Syamsuri menerangkan, pendirian rumah ibadah di wilayahnya dilakukan tanpa sepengetahuan warga maupun pengurus setempat.
"Ini cukup meresahkan. Pak Sitorus menjadikan rumahnya sebagai rumah ibadah tanpa sepengetahuan kami," ujar Syamsuri. (asp)