Menkumham Ungkap Alasan Penting Amnesti Dalam Kasus Baiq Nuril
- VIVA.co.id/ Bayu Nugraha
VIVA – Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly menyebutkan, amnesti adalah opsi paling memungkinkan dilakukan dalam perkara yang menjerat Baiq Nuril Makmun. Sebab, dalam UU 22 Tahun 2002 Jo Nomor 5 tahun 2010, tidak memungkinkan bahwa Baiq Nuril diberikan grasi.
"Kalau grasi itu minimal hukumannya dua tahun," kata Yassona saat menerima kunjungan Baiq Nuril di Kemenkumham, Jakarta, Senin, 8 Juli 2019.
Dalam praktiknya selama ini, menurut Yassona, amnesti diberikan terkait kasus-kasus politik. Namun, saat Presiden Soekarno mengeluarkan UU Nomor 11 Tahun 1954 Pasal 1 tidak dijelaskan tindak pidana khusus dalam pemberian amnesti.
"Jadi tidak ada limitasi tindak pidana apa pun di situ. Yang kedua pascaamandemen UUD 1945, dalam Pasal 14 ayat 2 disebut Presiden mempunyai hak prerogatif dapat memberikan amnesti, abolisi dengan pertimbangan DPR," ujarnya.
Yassona menambahkan, "Kalau dulu dalam undang-undang darurat dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Berarti ada dasar hukum yang lebih tinggi konstitusional kewenangan presiden sebagai kepala negara untuk memberikan hak prerogratif amnesti."
Menurut dia, perkara yang menjerat Baiq Nuril bukan hal yang kecil. Sebab hal ini menyangkut keadilan bagi kaum wanita. Jika tak ada kewenangan konstitusional memberikan amnesti, ia menilai ke depan banyak wanita yang menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual enggan bersuara.
"Ada banyak mungkin ribuan, puluhan ribu, ratusan wanita yang korban kekerasan seksual atau pelecehan seksual tidak akan berani bersuara karena takut bisa-bisa kalau saya mengadu akan dikorbankan," katanya.
Untuk itu, pihaknya akan menyusun pendapat hukum yang nantinya akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo agar memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
"Kami akan menyusun pendapat hukum kepada Pak Presiden tentang hal ini bahwa kemungkinan yang paling tepat adalah amnesti," ujarnya. (ase)