Kisah Pilu Korban Kawin Pesanan Jaringan Mak Comblang
- VIVA.co.id/ Rifki Arsilan
VIVA – Wanita itu tertunduk lemah ketika mengisahkan kejadian yang menimpanya. Perempuan 23 tahun itu diduga menjadi korban perkawinan yang dipesan oleh warga Tiongkok.
Dengan suara terpatah-patah, wanita yang mengaku bernama Monika itu, mengisahkan awal mula direkrut oleh sindikat Mak Comblang Perkawinan antarnegara. Kemudian wanita asal Kubu Raya, Kalimantan barat itu bisa menyelamatkan diri, dari jeratan keluarga pemesan jasa perkawinan antarnegara tersebut.
Monika mengisahkan, awalnya dia kenal dengan sindikat Mak Comblang itu di Sompa, Kalimantan Barat. Dia diperkenalkan oleh jaringan Mak Comblang asal Pontianak oleh dua orang teman mainnya pada bulan September 2018.
Menurut Monika, temannya memang menawarkan kepada dia untuk menikah dengan orang kaya, dengan jaminan kehidupan dan keluarganya dijamin setelah menikah.
"Sejak awal memang saya dikenalkan oleh teman saya ke Mak Comblang itu. Dan saya memang bilang ingin menikah, ingin bantu orangtua saya makanya awalnya saya mau dikenalkan itu," kata Monika kepada VIVA di gedung YLBHI, Jalan Diponegoro Jakarta Pusat, Minggu 23 Juni 2019.
Ia mengisahkan, pada September 2018, dirinya diperkenalkan dengan seorang pria asal Tiongkok. Pria itu adalah calon suami Monika, yang bernama Tong Fei. Karena Monika tidak bisa berbahasa China, di hari pertemuannya itu pembicaraan antar keduanya difasilitasi oleh para Mak Comblang yang mengenalkan dirinya dengan pria itu.
"Usia suami saya itu sekitar 27-28 tahun. Katanya gaji suami saya itu sebulan Rp10 juta, hidupnya enak, saya akan dapat uang, nanti keluarga saya bisa dikirimkan uang tiap bulan kan. Terus, kalau kamu mau pulang atau berkunjung ke Indonesia itu bisa, jadi saya mau," ujarnya.
Pertemuan singkat dengan calon suaminya itu, membuat wanita yang hanya lulusan SMP itu tergiur dengan janji manis para Mak Comblang. Akhirnya, sekitar tiga hari setelah bertemu dengan calon suaminya, Monika menerima ajakan Mak Comblangnya untuk menikah dengan Tong Fei. Belakangan diketahui suaminya itu hanya bekerja sebagai kuli bangunan di China.
"Iya, kami sempat bertemu dengan calon suami di Pontianak (sebelum berangkat ke China). Kemudian langsung tunangan, tandatangani, katanya surat nikah. Sekitar satu mingguan setelah itu langsung pergi ke China," katanya.
Dia melanjutkan, "Dan waktu di China juga sempat bikin pesta resepsi, makan-makan di restoran gitu."
Perlakuan kasar
Impian Monika mendapatkan suami kaya serta bertanggung jawab sepertinya hanya menjadi janji manis para Mak Comblang. Para Mak Comblang itu hanya ingin mendapatkan keuntungan semata dari jasa perkawinan pesanan itu. Bukan kesejahteraan lahir batin, justru penderitaan panjang yang didapatkan Monika.
Menurut Monika, selama menikah dengan Tong Fei, dia kerap mendapatkan penyiksaan oleh suami dan keluarga suaminya. Selama 10 bulan tinggal di China, Monika diharuskan bekerja di toko bunga milik mertuanya. Bahkan, Monika kerap mendapatkan perlakuan kasar oleh suami dan mertuanya.
"Setelah bekerja di toko bunga, saya harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dan sama sekali saya tidak pernah dikasih uang ataupun gaji. Semua diambil oleh keluarga suami saya," ujarnya.
Bahkan, lanjut Monika, dirinya pernah diajak berhubungan intim dengan suaminya. Namun, ajakan itu enggan ia penuhi lantaran sedang sakit dan menstruasi. Suaminya tak percaya. Hingga mertua Monica sempat meminta ia tanpa busana dan membuktikan sedang datang bulan. "Saya pernah dipukul sama suami punggung saya sampai biru," ujarnya.
Menurut dia, perlakuan kasar yang dilakukan oleh suami dan mertuanya itu dilakukan karena mertuanya menginginkan keturunan dari buah perkawinannya itu.
"Di situ, setelah beberapa bulan saya didesak harus cepat punya anak. Mertua sama suami saya yang sering marah bilang gitu ke saya," katanya.
Dia menambahkan, "Saya merasa beruntung, lega, saya tidak kebayang kalau saya punya anak dengan suami yang suka mukul, perlakuan kasar kaya gini, kalau punya anak kan saya enggak bisa pulang."
Dilarang Berkomunikasi
Tidak hanya sering mendapatkan perlakuan kasar, selama berada di China, Monika tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan keluarganya di Pontianak. Sim card miliknya diambil paksa oleh sang suami.
Untungnya, handphone milik Monika tidak ikut dirampas oleh sang suami, sehingga dia dapat berkomunikasi dengan menggunakan aplikasi WhatsApp melalui handphonenya. Meskipun hal itu dilakukan secara diam-diam dengan memanfaatkan jaringan WiFi di tempat tinggalnya.
Monika mengaku kekesalan dirinya kepada suami dan mertuanya memuncak, ketika dia diketahui tengah berkomunikasi dengan keluarganya yang ketika itu memberi kabar bahwa ayah kandungnya tengah sakit keras di kampung halamannya.
Keluarga Monika pun sempat meminta kepada suami Monika agar mengizinkan Monika pulang ke kampung halaman karena kondisi ayahnya sudah sakit keras. Namun, suaminya tidak bisa memulangkan Monika ke Indonesia.
"Dan sekarang ayah saya sudah meninggal dunia. Saya tidak boleh komunikasi dengan keluarga saya dan tidak boleh pulang ke Indonesia," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Menurut Monika, pasca-insiden itu, keluarganya baru mengetahui bahwa dirinya kerap mendapatkan perlakuan kasar oleh suami dan mertuanya di China. Sehingga keluarganya melaporkan kasus ini ke Polda Kalimantan Barat.
"Sampai keluarga saya lapor ke polisi, bos besar (agen jasa perkawinan pesanan antarnegara) takut. Sampai bos besar itu sempat ingin mengirimkan keluarga saya uang 30 juta agar saya tetap tinggal di sana tapi keluarga saya tidak mau," ujarnya.
Melarikan Diri
Mendapatkan kabar ayahnya meninggal dunia dan dia tidak diperbolehkan pulang ke Indonesia, Monika pun nekat melarikan diri dari kungkungan suami dan mertuanya.
Dengan keterbatasan bahasa dan komunikasi di China, Monika nekat lari dengan bus kota keluar dari tempat tinggal mertuanya.
Di pagi hari, sebelum membuka toko bunga milik mertuanya, Monika dengan cara sembunyi-sembunyi berjalan ke arah jalur bus kota dengan alasan pergi ke toko roti yang tak jauh dari tempat tinggal mertuanya.
Monika lari hanya berbekal sebuah handphone dan uang sebesar 500 Yuan. Bus yang ditumpanginya hanya mengantarkan Monika ke terminal Wuji. Setelah sampai terminal Wuji, Monika kemudian naik taksi dan meminta sopir taksi mengantarkan dirinya ke kantor polisi terdekat. Akhirnya dia diantarkan ke kantor polisi di Heibei.
Sesampainya di kantor polisi Heibei, Monika sempat menceritakan apa yang dialaminya kepada polisi China. Dia juga meminta kepada kepolisian untuk menghubungkan dia dengan KBRI di Beijing.
Monika akhirnya dapat berkomunikasi dengan pihak KBRI bernama Ikhsan. Monika menceritakan apa yang dialami dirinya kepada Ikhsan melalui jaringan seluler yang difasilitasi oleh kepolisian Hebei.
Namun, kata Monika, pihak KBRI tidak berani menjemput Monika karena dia tidak memegang paspor lantaran ditahan oleh suaminya, Tong Fei. Kemudian, lanjut Monika, KBRI di Beijing meminta bantuan kepada kepolisian Heibei untuk meminta paspor milik Monika yang ditahan oleh suaminya.
Kemudian, lanjut Monika, polisi sempat memanggil Tong Fei untuk meminta paspor milik Monika. Dia sendiri sempat tinggal di sel kantor polisi Hebei selama tiga hari sampai mendapatkan paspor miliknya.
Setelah mendapatkan paspor, kata Monika, polisi menyuruh dia tinggal di sebuah apartemen bersama kakak kandung suaminya, yang kebetulan seorang wanita.
Menurut Monika, sesampainya di apartemen milik kakak iparnya yang terletak di lantai 31, perlakuan kasar pun kembali diperoleh dirinya. Kakak kandung suaminya malah memarahi Monika karena berani melaporkan keluarganya ke pihak berwajib di Hebei.
"Saya diancam sama kakak ipar saya. Dia bilang saya enggak boleh pulang ke Indonesia kalau belum ganti uang Rp100 juta kepadanya," katanya.
Karena mendapatkan ancaman dari kakak iparnya, Monika kembali berusaha kabur dari apartemen tersebut. Dia lari menggunakan taksi ke salah satu universitas di Uhan.
"Di sana saya ketemu dengan beberapa mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di sana. Kemudian saya ditaruh di hotel, dan tidak sampai semalam, saya langsung dipulangkan ke Jakarta. Dan kemarin sampai di Jakarta, saya di jemput oleh Pak Mahadir dari SBMI," ujarnya.
Monika mengaku mengenal Mahadir atau SBMI Mempawah melalui media sosial Facebook, yang diketahuinya melalui sejumlah teman yang juga menjadi korban perkawinan pesanan di China. "Jadi sebelumnya memang saya sudah komunikasi sama Pak Mahadir melalui Facebook itu. Saya tahu Pak Mahadir itu dari ada teman saya satu kampung yang sekarang masih ada di sana," ujarnya. (ren)