Amnesty International Minta Polisi Penganiaya di Kampung Bali Diadili
- Istimewa
VIVA – Amnesty International Indonesia meminta Kepolisian dan Komnas HAM segera melakukan investigasi yang independen dan menyeluruh terhadap segala bentuk potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi dalam pengamanan kerusuhan pada aksi 22 Mei 2019 di Jakarta.
Rentetan aksi kekerasan terjadi setelah demonstrasi pada 22 Mei 2019 banyak terjadi, seperti penyerangan asrama Brimob di Petamburan, jatuhnya korban tewas yang mencapai delapan orang, beberapa diantaranya disebabkan oleh luka tembak dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat. Seperti yang terjadi dalam menangkap salah seorang warga di Kampung Bali, Jakarta Pusat.
Para pelaku kekerasan, apakah itu berasal dari kepolisian maupun pihak-pihak dari luar yang memicu kerusuhan, harus diinvestigasi dan dibawa ke muka hukum untuk diadili. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat tiga anak tewas pasca aksi 22.
"Harus ada investigasi mendalam dan menyeluruh untuk mengungkap fakta yang sebenarnya dan segera mengadili para pelaku,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangan yang diterima VIVA, Minggu 26 Mei 2019.
Menurut Usman Hamid, indikasi pelanggaran HAM berupa perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia oleh aparat dalam melakukan penangkapan seseorang yang diduga sebagai ‘perusuh’ di Kampung Bali seperti yang terlihat dalam video yang viral di media sosial dan telah dikonfirmasi oleh kepolisian menunjukkan bahwa kepolisian gagal dalam menerapkan prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Ini adalah pelanggaran serius.
"Hal tersebut adalah pelanggaran serius terhadap SOP kepolisian itu sendiri karena apapun status hukum seseorang, aparat tidak boleh memperlakukan ia secara kejam dan tidak manusiawi yang merendahkan martabatnya sebagai seorang manusia. Aparat yang melakukan pemukulan harus diadili dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Usman.
Terkait kerusuhan pasca aksi 22 Mei, Amnesty International Indonesia sadar bahwa asrama Brimob telah diserang oleh sekelompok orang beberapa jam setelah protes massal berakhir Selasa malam, tetapi respons kepolisian terhadap serangan semacam itu tetap harus proporsional.
Meski menjadi tugas yang sulit, apalagi ketika terdapat sejumlah orang telah melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kekerasan, adalah penting bahwa jajaran kepolisian tetap menghormati kaidah-kaidah hukum hak asasi manusia.
Kaidah ini tidak boleh dilupakan. Aparat dibenarkan untuk dapat menggunakan kekuatan, tetapi itu hanya jika benar-benar diperlukan dan harus bersifat proporsional.
“Jadi jelas terlihat adanya indikasi pelanggaran HAM yang terjadi setelah demonstrasi 22 Mei, oleh karena itu penting untuk memastikan Komnas HAM secara aktif terlibat dalam melakukan investigasi untuk mengumpulkan bukti-bukti dugaan pelanggaran HAM yang terjadi,” kata Usman Hamid.
Amnesty International Indonesia juga menyayangkan bahwa pemerintah Indonesia mengambil langkah menerapkan restriksi terhadap platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Whatsapp dan Twitter selama beberapa hari setelah aksi 22 Mei.
Walaupun pembatasan tersebut telah dicabut oleh pemerintah pada 25 Mei 2019, Amnesty International mengingatkan pemerintah bahwa langkah ceroboh tersebut adalah pelanggaran hak orang untuk mendapatkan informasi. Bahkan yang lebih besar lagi adalah pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat.