Logo timesindonesia

Umat Buddha Rayakan Waisak di Vihara Dhammadipa Arama

Pindapata tetap dilaksanakan di dalam Vihara, sebagai bentuk toleransi Kirab Budaya yang biasa dilakukan ditiadakan pelaksanaannya. (FOTO: Istimewa /TIMES Indonesia)
Pindapata tetap dilaksanakan di dalam Vihara, sebagai bentuk toleransi Kirab Budaya yang biasa dilakukan ditiadakan pelaksanaannya. (FOTO: Istimewa /TIMES Indonesia)
Sumber :
  • timesindonesia

Detik-detik Waisak tahun 2019 atau 2563 BE ini jatuh pada pukul 04.11 WIB, Minggu (19/5/2019). Umat Buddha dari berbagai penjuru berkumpul di Vihara Dhammadipa Arama, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu.

Mereka mengikuti pembacaan Parita Manggala dan Avamanggala dan dilanjutkan dengan meditasi bersama.

Perayaan hari Waisak di Vihara Dhammadipa Arama sendiri baru akan dilaksanakan nanti pada 16 Juni 2019, hal ini dilakukan sebagai bentuk toleransi umat Buddha kepada kaum muslimin yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Dalam Waisak yang bertemakan  'Mencintai Kehidupan Berbudaya Penjaga Persatuan' beberapa kegiatan besar seperti kirab budaya keliling desa yang selalu dilaksanakan setiap Waisak ditiadakan.

Selain itu Vihara juga menunda pertunjukkan seni budaya.  “Bukan hanya saat ini saja Waisak bersamaan dengan Ramadhan, sudah dua tahun ini kita konsentrasi peribadatan dalam vihara saja,” kata Kepala Vihara, Bhante Khantidharo.

Menurut Khantidharo momen Waisak ini menjadi momen refleksi kehidupan berbangsa. Dimana sebuah perbedaan dan keragaman di NKRI adalah anugerah.

“Penjaga Persatuan adalah lawan dari perpecahan. Jangan mudah diadu domba. Dengan bersatu hidup akan tentram dan damai," katanya.

Khantidharo juga mengingatkan kondisi bangsa dimana banyak kebencian yang tersebar yang menjadi korban adalah umat.

"Kasihan bagi umat yang menjadi korban. Agama itu kan mencintai. Kalau tidak saling mencintai bertentangan dengan ajaran agama. Jadi harus saling kasih, sayang dan mencintai," katanya.

Beberapa peribadatan tetap dilakukan di dalam Vihara Dhammadipa Arama seperti  Pindhapata tetap dilaksanakan, dimana umat beramai-ramai memberikan makanan kepada  Bikhu dan Samanera. Para pemuka agama ini berjalan berjajar sambil membawa wadah semacam mangkok yang terbuat dari besi.  Ritual Pindhapata ini menggambarkan jalan kehidupan Bikhu yang tidak memasak, hingga yang menyediakan umat. (*)