Ketua NU Jatim: Jangan Ikut-ikutan Aksi Kedaulatan Rakyat 22 Mei
- VIVA / Nur Faishal (Surabaya)
VIVA – Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, mengimbau masyarakat, terutama warga Jatim, agar tidak ikut-ikutan melakukan aksi jalanan terkait Pemilihan Umum 2019. Dia meminta semua pihak agar mempercayakan urusan itu kepada pihak yang berwenang, yakni institusi penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, massa tertentu berencana akan menggelar aksi ‘bela kedaulatan rakyat’ pada saat pengumuman hasil Pemilu 2019 di Jakarta pada 22 Mei 2019. Sekira sepuluh ribu orang dari Jatim dikabarkan juga akan berangkat ke Jakarta bergabung dengan aksi tersebut.
Marzuki mengimbau agar masyarakat Jatim tidak ikut-ikutan dan lebih baik beraktivitas di rumah masing-masing secara normal. “Yang ustaz, ngajar. Yang guru, ngajar. Yang pegawai, bekerja. Yang petani juga bekerja, dan seterusnya. Jangan ikut-ikutan melakukan sesuatu yang itu bukan kewenangan kita,” kata Marzuki di Surabaya, Jawa Timur, pada Sabtu malam, 18 Mei 2019.
Menurut Marzuki, pemilu adalah ruang yang resmi bagi rakyat untuk menentukan pilihan politik. “Kalau memang (aksi itu) mengatasnamakan kedaulatan rakyat, maka rakyat yang resmi itu disalurkan lewat pemilu. Yang dinyatakan menang di pemilu, itulah suara rakyat, kedaulatan rakyat. Jangan sebetulnya sekian persen orang lalu mengatasnamakan kedaulatan rakyat,” ujar pengasuh Pesantren Sabilur Rosyad Gasek, Malang, itu.
Selain NU Jatim, pendapat sama disampaikan sejumlah pihak, termasuk kalangan mahasiswa. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Surabaya, Andik Setiawan, mengatakan bahwa elemen mahasiswa ogah ikut-ikutan gerakan people power bukan karena kehilangan daya kritis. Namun, justru sikap itu diambil karena tidak hanya ikut-ikutan bergerak tanpa alasan mendasar.
Menurut Andik, syarat people power sebagaimana diembuskan kelompok tertentu belum cukup. Kondisi Indonesia kini belum sama seperti tahun 1998 yang melahirkan people power dan menumbangkan rezim Soeharto.
“Saya kira belum cukup syarat (untuk melakukan people power),” katanya dalam sebuah diskusi di Surabaya beberapa waktu lalu.
Saat ini, negara tidak dalam kondisi totaliter. Ruang untuk menyampaikan aspirasi dan keberatan masih dibuka oleh pemerintah, termasuk dalam hal sengketa pemilu.
Hal itu berbeda dengan situasi tahun 1998 ke bawah yang semua pintu ruang berekspresi ditutup oleh pemerintah. “Maka waktu itu perlu adanya kekuatan besar masyarakat mengganti rezim. Nah, itu yang dinamakan people power,” ujar Andik.
Karena itu, Andik menegaskan HMI tidak akan ikut-ikutan melakukan aksi 22 Mei. “Kalau diarahkan ke people power yang konstitusional, kita sepakat. Tapi kalau inkonstitusional, saya tidak (sepakat). Kalau inkonstitusional pasti makar, kita enggak ingin,” ucapnya.