YLBHI Ungkap 11 Kebijakan Pemerintah Jokowi yang Mengancam Demokrasi

Ketua YLBHI Asfinawati
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fajar GM

VIVA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai, kebijakan pemerintah saat ini justru membahayakan dan meruntuhkan substansi hukum. Kebijakan terbaru mengenai Menko Polhukam Wiranto yang membentuk tim asistensi hukum untuk mengawasi tokoh-tokoh.

Yoon Suk Yeol Bantah Lakukan Pemberontakan, Sebut Darurat Militer untuk Lindungi Negara

Ketua Umum YLBHI, Asfinawati mengatakan, pasal 1 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Ayat berikutnya juga menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

"Negara hukum ditandai dengan supremasi hukum (bukan kekuasaan) dan due proses of law atau hak untuk diproses melalui peradilan, tidak dijatuhi hukuman atau dicabut haknya secara sewenang-wenang. Kami melihat pemerintah saat ini telah membahayakan dan meruntuhkan substansi hukum," kata Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa, 14 April 2019.

Kisah Jenderal TNI Asal Bugis Gebrak Meja di Hadapan Soeharto

Dia menambahkan, setelah 21 tahun reformasi, sedikitnya ada tanda negara hukum Indonesia sedang terancam oleh 11 kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sebelas kebijakan tersebut dinilai juga menjadi tanda ancaman terhadap negara demokrasi.

"Setelah 21 tahun reformasi, yang mencanangkan pengutamaan hukum, HAM dan demokrasi, setidaknya terdapat 11 tanda negara hukum Indonesia sedang terancam oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah," ujarnya.

Bukan Kaleng-kaleng, Ini Sepak Terjang 4 Jenderal TNI 'Pembisik' Presiden Prabowo

Asfinawati juga menjelaskan, 11 kebijakan pemerintah tersebut memiliki beberapa pola. Pertama, menghambat kebebasan sipil seperti berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, berkeyakinan.

"Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik itu konstitusi, TAP MPR maupun undang-undang. Ketiga, memiliki watak yang represif, mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman," paparnya.

Dia menyebut bila kebijakan seperti pembentukan tim asistensi bersifat represif karena melihat kritik sebagai ancaman. Selain itu, penggunaan pasal makar secara sembarangan untuk menjerat pihak tertentu.

Berikut 11 kebijakan pemerintah tersebut versi YLBHI:

1. SK Menkopolhukam No. 38/2019 tentang Tim Asistensi Hukum.

2. Penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan.

3. Hak tidak memilih atau Golput dijerat dengan UU Terorisme, UU ITE dan KUHP.

4. Rencana Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional.

5. Pemerintah memasukkan atau setuju memasukkan pasal makar, penghinaan presiden dan penodaan agama dalam RKUHP.

6. Perluasan penempatan militer di kementerian dan upaya memasukkannya dalam revisi UU TNI.

7. UU 5/2018 tentang Perubahan atas UU 15/2003 tentang Penetapan Perpu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang mengkaburkan batasan peran TNI dalam urusan pertahanan.

8. Upaya-upaya penghambatan, pembubaran, bahkan kekerasan dan penangkapan terhadap aksi-aksi damai warga negara seperti Aksi May Day dan lainnya.

9. MoU Kementerian-Kementerian dan Badan-Badan Usaha dengan TNI.

10. Permendagri 3/2018 tentang tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP).

11. UU 16/2017 tentang Pengesahan Perpu 2/2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang Posisi pemerintah untuk RKUHP memasukkan pasal makar dan penghinaan presiden.

Terkait 11 kebijakan tersebut, YLBHI menyatakan sikap:

Pertama, memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan Pemerintahan terikat pada konstitusi.

Kedua, meminta kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum dan rule of law dicabut dan dihentikan segera.

Ketiga, meminta agar kebijakan-kebijakan yang melawan hukum, bertentangan dengan rule of law dan merusak demokrasi tidak Iagi dikeluarkan. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya