BKSDA Temukan 83 Ekor Kura-kura Gunung di Hutan Pasaman Barat
VIVA – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, menemukan sebanyak 83 ekor satwa liar jenis Kura-kura Gunung atau Brown Giant Tortoise (Manouria emys) di kawasan hutan Talu, Kabupaten Pasaman Barat. Ke-83 ekor kura-kura gunung itu ditemukan petugas saat melakukan monitoring beberapa waktu lalu.
Petugas Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA, Sumatera Barat, Rully Permana menyebutkan, di kawasan hutan Talu ini masih cukup banyak ditemukan spesies Kura-kura Gunung dengan perkiraan usia dewasa. Namun demikian, habitatnya tetap harus dijaga agar tidak masuk kategori punah.Â
"Ada sekitar 83 ekor yang berhasil kita temukan," kata Rully, Senin 13 Mei 2019.
Meski Kura-kura hutan belum termasuk spesies yang dilindungi, namun keberlangsungannya tetap harus diperhatikan dan dijaga. Baik daging, kulit dan bagian-bagian lain dari Kura-kura Gunung yang bernilai ekonomis, termasuk juga estetika seperti atraksi dan pemeliharaan satwa liar yang memperlihatkan keindahan fisik, suara dan karakter spesies boleh dimanfaatkan dengan pembatasan kuota tangkap dari alam.
"Kura-kura gunung, salah satu jenis satwa liar yang tidak dilindungi. Bisa dimanfaatkan dengan pembatasan kuota tangkap dari alam," ujar Rully.
Menurut Rully, di Indonesia yang beriklim tropis, dengan luas daratan yang hanya sekitar 1,3 persen dari keseluruhan permukaan bumi, kaya akan berbagai jenis hidupan liar dan berbagai tipe ekosistem yang sebagian diantaranya tidak dijumpai di bagian lain belahan bumi ini.Â
Pemanfaatan sumber daya alam hayati untuk tujuan perdagangan, khususnya satwa liar telah lama dilakukan secara fisik ekstraktif seperti dalam bentuk daging, kulit dan bagian-bagian lain dari padanya yang bernilai ekonomis maupun estetika seperti atraksi dan pemeliharaan satwa liar yang memperlihatkan keindahan fisik, suara dan karakter spesies satwa liar.
Kecenderungan pemanfaatan sumber daya alam (tumbuhan satwa liar/TSL) menunjukkan bahwa, baik pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dengan alasan ekonomi dan kesenangan telah memberikan tekanan yang memiliki akibat terhadap kualitas dan kuantitas populasi satwa liar di habitat alam. Akibat pengurasan (over exploitation) yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama dan simultan telah mengancam keberadaan beberapa spesies satwa liar di habitat alam.
"Pemanfaatan jenis TSL di Sumatera Barat merupakan salah satu aktifitas yang memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat karena dapat dijadikan mata pencaharian alternatif yang sangat menjanjikan. Pemanfaatan TSL diatur melalui suatu mekanisme yang disebut dengan Kuota," kata Rully.Â
Rully menjelaskan, kuota ditetapkan dalam periode satu tahun, yang pemanfaatannya didukung oleh data-data populasi TSL terbaru dengan kondisi terkini (update) suatu daerah. Sehingga selain mampu mendorong peningkatan pendapatan masyarakat lokal juga dapat meningkatkan pajak bagi pemerintah (PNBP).Â
Selain itu, dapat pula sebagai salah satu upaya dalam menjaga keseimbangan alam dan mencegah terjadinya ledakan populasi suatu jenis yang dapat menjadi hama bagi masyarakat. Selain itu, semangat untuk peningkatan perekonomian masyarakat melalui pemanfaatan jenis sumber daya alam yang tidak dilindungi, membutuhkan kehati-hatian dalam pengusulan kuotanya.Â
"Hal ini juga didasarkan pada pertimbangan kelangsungan populasi di alam sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkesinambungan. Selain itu, masyarakat ataupun pengumpul didorong untuk membuat penangkaran untuk menjamin ketersediaan komoditi," ungkap Rully.