Pemukulan di May Day Upaya Memberangus Demokrasi

Konferensi pers pemukulan di May Day
Sumber :
  • VIVA/Ridho Permana

VIVA – Peringatan Hari Buruh se-dunia (May Day) telah digelar kemarin, Rabu 1 Mei 2019. Di Indonesia sendiri, May Day masih menyisakan banyak masalah.

Pilkada Usai, GMKI Jakarta Serukan Persatuan dan Penghormatan Hasil Demokrasi

Perayaan May Day di beberapa daerah diwarnai aksi pemukulan atau serangan oleh aparat terhadap peserta aksi. Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora mengatakan, aparat kepolisian melarang aksi tanpa dasar hukum yang jelas.

"Saya kemarin mendampingi aksi May Day di Dukuh Atas, kepolisian melarang aksi tanpa dasar hukum yang jelas. Setelah mereka tahu, gak ada dasar hukum melarang aksi, akhirnya dibuka. Tapi itu bukan kebaikan dari kepolisian, tapi atas dasar kami jelaskan," kata Nelson di YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis 2 Mei 2019.

Angka Golput di Pilkada 2024 Tinggi, Wamendagri: Faktor Cuaca dan Jenuh

Nelson menilai, pelarangan aksi merupakan upaya untuk pelemahan May Day. Belum lagi, ada yang dipukuli, itu disebut bentuk pemberangusan demokrasi.

"Ini adalah upaya pelemahan May Day, mulai diaturnya libur nasional. Belum lagi banyak yang dipukuli, bentuk memberangus demokrasi," ungkapnya.

Angka Golput Pilkada Serentak 2024 Meningkat, LSI Denny JA: Demokrasi dalam Ancaman

Berdasarkan hal-hal di atas, berikut pernyataan sikap LBH dan lembaga lainnya:

1. Aksi brutal yang dilakukan aparat jelas melawan hukum. Oleh karena itu pelaku perlu diproses hukum atas tindakan kekerasan yang diberlakukan kepada orang, termasuk kekerasan terhadap anak.

2. Aksi brutal yang dilakukan aparat tersebut juga merupakan pelanggaran kode etik dalam pasal 7 ayat (1) huruf c peraturan Kapolri tentang kode etik kepolisian, sehingga dapat diajukan pada sidang etik dengan sanksi sampai pemberhentian, termasuk bagi atasan yang membiarkan pelanggaran terjadi.

3. Aksi brutal yang dilakukan aparat tersebut juga merupakan pelanggaran hak atas fair trial yang dijamin UU 1945, KUHAP dan ICCPR, jelas terjadi pelanggaran prinsip praduga tak bersalah, hak bebas dari penahanan sewenang-wenang dan hak bebas dari penyiksaan, terhadap korban harus diberi jaminan peroleh ganti rugi akibat tindakan sewenang-wenang tersebut.

4. Terhadap korban, perlu ada perlindungan, bantuan medis darurat, termasuk hak atas pemulihan yang harus dijamin oleh negara.

5. Perlu ada evaluasi mendalam pada pihak kepolisian karena kami mencermati sepanjang 2019 banyak terjadi kasus tindakan sewenang-wenang aparat yang tidak pernah jelas pengusutannya.

6. Pendekatan militeristik yang dilakukan terhadap warga sipil di masa damai perlu diberi perhatian serius oleh negara. Perlu ada evaluasi terhadap kepolisian, berkat reformasi yang diperjuangkan rakyat dipisahkan dari militer, karena tetap berperilaku militeristik setelah 19 tahun menjadi organisasi non militer.

7. Perlu pula dievaluasi tentang rantai komando sehingga TNI bisa ikut campur urusan keamanan dan diindikasikan melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil. (ren)

Warga menentukan pilihannya dalam Pilkada. (ilustrasi)

Pengamat Ungkap Sejumlah Dampak Negatif jika Pilkada lewat DPRD

Peneliti bidang politik mengatakan bahwa wacana pemilihan kepala daerah yang dipilih lewat DPRD tidak serta-merta menjamin pengurangan biaya politik secara keseluruhan.

img_title
VIVA.co.id
18 Desember 2024