Kisah Anak-anak Raja Ampat Papua Arungi Laut Demi Lawan Kemiskinan
- bbc
Raja Ampat di Papua Barat dianggap kepingan surga dunia sehingga menarik puluhan ribu turis untuk menjelajahi keindahan alam bawah lautnya setiap tahun.
Namun di tengah gegap gempita pariwisata yang mendunia, sebagian anak-anak Raja Ampat berjuang mengarungi laut dan hidup serba terbatas demi menempuh pendidikan.
"Saya bangga lahir sebagai anak Papua, tapi hidup kami susah, belajar setengah mati pakai pelita, jauh dari orang tua dan harus tinggal di pondokan."
Ungkapan itu diutarakan Felix Togarman Burdam, siswa kelas IX di SMP Negeri 27, Kampung Samate, Distrik Salawati Utara.
Felix adalah satu dari 15 anak dari Pulau Soop yang kini terpaksa merantau ke Samate demi melanjutkan pendidikan.
Di Soop hanya terdapat sarana sekolah dasar. SMP terdekat yang bisa dijangkau Felix dan anak-anak seusianya berada di Samate, berjarak sekitar 90 menit perjalanan laut menggunakan perahu bermesin 15 pk yang tak dilengkapi pelampung keselamatan.
Di wilayah kepulauan seperti Raja Ampat, mengarungi laut adalah satu-satunya cara berpindah tempat.
Namun perekonomian buruk tidak memungkinkan Felix dan kawan-kawannya pulang-pergi dari Soop ke sekolah di Samate menumpang perahu mesin setiap hari. Orang tua mereka tak sanggup membeli bahan bakar minyak tanah setiap hari.
Apalagi, kata Felix, anak-anak Soop lebih memilih bersekolah ke Samate ketimbang ke Sorong karena tak ada pungutan biaya pendidikan. Menghindari pengeluaran adalah pilihan rasional mereka yang berasal dari keluarga kelas ekonomi bawah.
"Kami menetap di pondokan, jadi tidak perlu keluarkan ongkos berangkat ke sekolah, tinggal jalan kaki saja," kata Felix.
Hampir sebagian besar kampung di Raja Ampat kini memang memiliki SD. Namun sarana pendidikan tingkat lanjut hanya berada di beberapa ibu kota distrik.
Beberapa tahun lalu, sejumlah orang tua di Soop berinisiatif membangun pondokan berbahan kayu dan bambu di ujung kampung Samate. Lokasinya persis di pinggir laut dan sedikit berjarak dari permukiman warga kampung.
Rumah tinggal sementara seluas 2x3 meter itu berdiri atas kebaikan sejumlah penduduk Samate yang bersedia meminjamkan lahan mereka.
Felix dan belasan kawannya menetap di tujuh pondokan yang saling bersebelahan.
Lima tempat tinggal sementara itu tak teraliri listrik. Baru dua pondokan yang mendapat pinjaman listrik gratis dari gereja di seberang mereka.
Pondokan sederhana itu juga tak memiliki kamar mandi. Seperti Felix, anak-anak dari Soop itu hanya bisa membasuh diri di pantai atau sumur milik gereja.
"Di pondok tidak ada listrik, kalau belajar malam, mata sakit," kata Felix.
"Air minum kami ambil dari sumur atau air hujan. Tapi air sumur keruh, kalau dimasak ada ampas," tuturnya.
Bagaimanapun, niat Felix menyongsong masa depan tak goyah walau ia harus hidup serba terbatas di pulau perantauan.
"Saya tidak masalah tinggal jauh dari keluarga karena ingin membanggakan orang tua. Saya ingin terus lanjut sekolah supaya bisa meraih cita-cita," kata Felix.
"Saya tidak mau jadi nelayan seperti bapak, dia bekerja setengah mati, semakin sulit mencari ikan, seminggu baru pulang dari laut," tuturnya.
Felix adalah satu dari sebagian anak Raja Ampat yang beruntung mampu mengenyam pendidikan formal. Kakak tertua Felix, Almirius Trison Burdam, misalnya tak tamat SD.
Almirius kini mencari ikan seperti ayahnya atau hanya berdiam di rumah jika cuaca sedang buruk.
Sementara itu abang kedua Felix saat ini duduk di bangku SMA dan dititipkan ke sanak familinya di Kampung Dorehkar, Kepulauan Ayau, wilayah terluar Indonesia di utara Papua Barat.
"Saya ingin anak-anak terus sekolah, tapi kalau bapak tidak melaut, tidak ada uang, tidak ada yang bisa menjamin mereka," kata Persila Falon, ibu Felix.
"Kalau ada uang, Felix bisa terus lanjut, kalau tidak ada, ya dia duduk-duduk saja di rumah. Semua tergantung bapak, bisa bekerja atau tidak, kesehatannya sedang terganggu," tutur Persila.
Perekonomian buruk menjadi tantangan lain yang dihadapi Felix dan kawan-kawannya di perantauan. Tahun 2018, setengah penduduk Raja Ampat (53,88%) merupakan penerima beras miskin, beras sejahtera, dan bantuan pangan non-tunai.
Setidaknya itu dikatakan Lince, satu dari tiga induk semang pondokan pelajar Soop di Samate.
"Kalau ada lauk mereka makan ikan. Kalau tidak, hanya nasi kosong dengan teh. Kalau bapak-bapak mereka datang ke pondok, mereka bisa makan bagus," ujarnya.
"Saya jaga mereka dengan doa saja. Anak-anak masih semangat sekolah, tapi orang tua mereka tidak tahu, mereka tidak dijaga dengan baik," kata Lince.
Raja Ampat terdiri dari sekitar 300 pulau yang terbentang di wilayah seluas 46.108 kilometer persegi. Luas ini 69 kali lebih besar daripada DKI Jakarta atau 29 kali luas London.
Pemkab Raja Ampat mengklaim 27.000 turis datang ke daerah mereka tahun 2017. Jumlah itu disebut terus meningkat.
Raja Ampat diklaim sebagai jantung segitiga karang dunia dan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Salah satu alasannya, 70% spesies karang di dunia ada di lautan Raja Ampat.
Meski begitu, seluruh titel itu dianggap bertolak belakang dengan wajah pendidikan Raja Ampat.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, angka partisipasi murni Raja Ampat di tingkat SMP dan SMA adalah salah satu yang terendah di Indonesia.
Angka partisipasi murni SMP dan SMA di Raja Ampat masing-masing mencapai 51,52 dan 44,86. Adapun, penduduk di kepulauan itu rata-rata hanya 7,57 tahun menempuh pendidikan formal.
Hingga 2019, hanya terdapat 109 SD dan 36 SMP di seluruh Raja Ampat. Padahal di kabupaten itu terdapat 170 kampung.
Menurut Bambang Purwoko, akademisi UGM yang puluhan tahun meneliti isu pendidikan Papua, kondisi itu miris. Alasannya, kata dia, Papua Barat dan Papua memiliki sumber anggaran besar, salah satunya dari dana otonomi khusus (otsus).
"Permasalahan yang terus ada, wilayah permukiman yang tersebar disebut menyulitkan pemda membangun fasilitas pendidikan yang dekat permukiman,"ujar Bambang.
"Papua kan punya dana otsus yang sangat besar. Selama ini kita belum melihat sejauh mana alokasi itu bisa meningkatkan akses dan ketersediaan pendidikan, termasuk di Raja Ampat," tuturnya.
Namun Kepala Dinas Pendidikan Raja Ampat, Juariah Saifuddin, menyebut institusinya tidak mendapat jatah anggaran yang berlimpah.
Dana yang mereka pegang pun belakangan lebih difokuskan untuk pengadaan sarana belajar seperti alat olahraga, komputer, serta pembangunan rumah guru.
"Bagaimana membangun SMP di setiap kampung kalau di banyak SD siswa kelas enam maksimal hanya 20 orang?" kata Juariah.
"Ada keterbatasan anggaran, kalaupun kami ajukan sebanyak-banyaknya, tidak akan diakomodir secara keseluruhan," ucapnya.
Perbandingan akses pendidikan Raja Ampat dulu dan sekarang, dipaparkan Benyamin Fiyai, guru SMP 47 Samate. Seperti Felix dan sebagian muridnya, ia dulu juga harus mengarungi laut demi pendidikan.
Benyamin berkata, ia wajib mengikuti ujian akhir SD di Kabare, wilayah yang berjarak lima jam perjalanan laut dari kampungnya di Dorehkar.
Kala itu, kata Benyamin, pemerintahan Raja Ampat belum membuat program pendidikan dasar gratis. Karena ayahnya merupakan tenaga medis berstatus pegawai negeri sipil, nasib Benyamin lebih baik ketimbang kawan-kawan seusianya.
Saat SMP, Benyamin merantau ke Kabare yang berada di Pulau Waigeo, satu dari empat pulau terbesar di Raja Ampat.
Karena perekonomian keluarganya yang stabil, kata Benyamin, ia bisa terus menapaki jenjang SMA di Sorong, lalu berkuliah di Universitas Cenderawasih di Jayapura, Papua.
"Waktu itu biaya pendidikan adalah salah satu persoalan utama. Kami harus tinggal menumpang saudara, sebagian kawan bangun pondok di Sorong," tuturnya.
Sejak 2007, Benyamin yang kini juga berstatus PNS seperti ayahnya, ditugaskan menjadi guru di Samate. Sejak itu pula ia menjalani perjuangan lain, bukan sebagai pelajar, melainkan pendidik di Raja Ampat.
Karena bekerja sebagai guru di Samate, Benyamin harus berpisah sementara dengan istriinya yang bekerja di Timika.
Sekali dalam enam bulan, Benny pergi dari Samate ke Timika untuk bertemu anak dan istrinya. Ia perlu menempuh tiga hari menumpang kapal atau 60 menit perjalanan udara dari Sorong.
"Jauh dari keluarga adalah tantangan berat, sebuah pergumulan. Tapi saya sudah berkomitmen menjadi guru," ujarnya.
"Setelah anak kedua lahir, ada rindu yang begitu dalam. Satu-satunya jalan adalah telepon. Jadi setiap malam saya harus melewati hutan gelap untuk dengar suara anak dan istri. itu saja obat rindu bagi saya," kata Benyamin.
Di Samate, Benyamin tinggal di satu rumah bersama dua rekan gurunya. Di kampung itu tak ada sinyal telekomunikasi. Untuk berkomunikasi dengan dunia luar, ia harus berjalan sekitar 45 menit menuju pantai, satu-satunya lokasi bersinyal di kampung itu.
Pertanyaannya kini, adakah solusi untuk persoalan pendidikan di wilayah kepulauan ini?
"Sekolah asrama," kata Bambang Purwoko dari UGM. Menurutnya, Pemkab Raja Ampat perlu membuka sekolah asrama dari jenjang SMP. Ia yakin, dana otsus cukup untuk membiayai sekolah ini.
"Dana otsus itu bisa dibangun fasilitas pendidikan yang memungkinkan anak pedalaman atau kepulauan bersekolah dengan nyaman."
"Pernah ada beberapa sekolah asrama dikelola pemda, tapi karena tidak diperhatikan, akhirnya gagal," ucap Bambang.
"Kunci sekolah asrama adalah pengasuhan dan inii harus dijalankan oleh orang-orang yang berjiwa pengabdian," tuturnya.
Pemda Raja Ampat tak menampik pembangunan sekolah asrama sebagai salah satu strategi mendekatkan pendidikan kepada anak-anak kepulauan. Namun persoalannya, lagi-lagi soal anggaran.
"Pernah ada pendidikan pola asrama di Raja Ampat, tapi ternyata akhirnya ditutup karena masalah operasional. Kami tidak bisa membayari siswa makan setiap hari, dana yang dibutuhkan cukup besar," kata Juariah.
Di tengah segala hambatan pendidikan di Raja Ampat, Benyamin Fiyai bertekad mencurahkan tenaganya untuk mengkampanyekan pentingnya duduk di bangku sekolah.
Menurutnya, guru perlu mengetuk pintu rumah orang tua unutuk meyakinkan betapa vitalnya pendidikan untuk anak-anak.
"Masa depan yang lebih baik hanya bisa diraih dengan pendidikan, saya selalu katakan agar anak-anak bersekolah sampai jenuh."
"Semua orang di dunia yakin, hanya pendidikanlah satu-satunya jalan mengubah hidup," ujarnya.
Dan bagaimana dengan Persila, ibunda Felix, yang tak pernah lulus SD dan tak mampu membaca atau menulis.
"Pendidikan itu bagus agar anak-anak punya masa depan. Saya tidak sekolah jadi mereka harus sekolah. Biar makan setengah mati, yang penting mereka sekolah," kata dia.
Dan perjuangan pendidikan di tengah kondisi serba sulit itu juga berada di tangan Felix serta anak-anak muda Raja Ampat.
"Saya ingin mendapat beasiswa sekolah keluar daerah. Saya tidak ragu.".
"Kalau tidak berhasil jadi tentara, saya mau menjadi guru. Di kampung ada guru, tapi dia pulang-pergi dari Sorong," ucap Felix.