Kisah Anak-anak Raja Ampat Papua Arungi Laut Demi Lawan Kemiskinan
- bbc
Karena perekonomian keluarganya yang stabil, kata Benyamin, ia bisa terus menapaki jenjang SMA di Sorong, lalu berkuliah di Universitas Cenderawasih di Jayapura, Papua.
"Waktu itu biaya pendidikan adalah salah satu persoalan utama. Kami harus tinggal menumpang saudara, sebagian kawan bangun pondok di Sorong," tuturnya.
Sejak 2007, Benyamin yang kini juga berstatus PNS seperti ayahnya, ditugaskan menjadi guru di Samate. Sejak itu pula ia menjalani perjuangan lain, bukan sebagai pelajar, melainkan pendidik di Raja Ampat.
Karena bekerja sebagai guru di Samate, Benyamin harus berpisah sementara dengan istriinya yang bekerja di Timika.
Sekali dalam enam bulan, Benny pergi dari Samate ke Timika untuk bertemu anak dan istrinya. Ia perlu menempuh tiga hari menumpang kapal atau 60 menit perjalanan udara dari Sorong.
"Jauh dari keluarga adalah tantangan berat, sebuah pergumulan. Tapi saya sudah berkomitmen menjadi guru," ujarnya.
"Setelah anak kedua lahir, ada rindu yang begitu dalam. Satu-satunya jalan adalah telepon. Jadi setiap malam saya harus melewati hutan gelap untuk dengar suara anak dan istri. itu saja obat rindu bagi saya," kata Benyamin.
Di Samate, Benyamin tinggal di satu rumah bersama dua rekan gurunya. Di kampung itu tak ada sinyal telekomunikasi. Untuk berkomunikasi dengan dunia luar, ia harus berjalan sekitar 45 menit menuju pantai, satu-satunya lokasi bersinyal di kampung itu.
Pertanyaannya kini, adakah solusi untuk persoalan pendidikan di wilayah kepulauan ini?
"Sekolah asrama," kata Bambang Purwoko dari UGM. Menurutnya, Pemkab Raja Ampat perlu membuka sekolah asrama dari jenjang SMP. Ia yakin, dana otsus cukup untuk membiayai sekolah ini.
"Dana otsus itu bisa dibangun fasilitas pendidikan yang memungkinkan anak pedalaman atau kepulauan bersekolah dengan nyaman."
"Pernah ada beberapa sekolah asrama dikelola pemda, tapi karena tidak diperhatikan, akhirnya gagal," ucap Bambang.