Logo timesindonesia

Kisah Sedih Anggota KPPS, Keguguran Saat Penghitungan Suara

Anggota KPPS di Bondowoso,  Lupnatul Hairoh ditemani suaminya, Muhammad Abdul Fawaid, saat ditemui di kedimannya. (FOTO: Moh Bahri/TIMES Indonesia)
Anggota KPPS di Bondowoso, Lupnatul Hairoh ditemani suaminya, Muhammad Abdul Fawaid, saat ditemui di kedimannya. (FOTO: Moh Bahri/TIMES Indonesia)
Sumber :
  • timesindonesia

Pemilu serentak tahun 2019 ini, dengan lima jenis surat suara, merupakan Pemilu paling rumit sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Tak heran, jika pesta lima tahunan ini membutuhkan banyak pengorbanan. Khususnya dari petugas Pemilu.

Tak hanya korban tenaga, bahkan banyak pahlawan demokrasi tersebut harus korban nyawa, hingga harus kehilangan anak yang dikandungnya.

Seperti kisah sedih yang dialami oleh Lupnatul Hairoh (20 tahun). Dia harus merelakan calon anaknya karena keguguran. Ini terjadi saat Lupnatul Hairoh bertugas sebagai anggota KPPS, di TPS 10, Dusun Karang Anyar Desa Gunung Sari, Kecamatan Maesan Bondowoso Jawa Timur.

Saat ditemui di kedimannya, Dusun Karang Anyar RT 16 RW 05 Desa Gunung Sari, Lupnatul ditemani suaminya, Muhammad Abdul Fawaid.

Tampak wajah kedua pasangan suami istri itu, tidak bisa menyembunyikan rasa sedih yang sedang dialaminya.

Saat dikonfirmasi, Lupnatul Hairoh menceritakan, bahwa pada hari pencoblosan, 17 April 2019 kemarin, ia sebagai KPPS 4 atau penerima undangan, di TPS tempat dia bertugas. Selama pemungutan suara berlangsung, dia merasa baik-baik saja.

Tapi pada saat penghitungan surat suara pertama, ia merasakan sakit yang luar biasa, di bagian perutnya. Namun, dia tetap berusaha untuk melanjutkan, hingga penghitungan surat suara presiden selesai.

“Habis itu, saya izin ke kamar mandi. Ternyata saya pendarahan. Jadi anak saya hilang saat penghitungan surat suara sedang berlangsung,” katanya saat ditemui TIMES Indonesia, Jumat (26/4/2019).

Meski sudah tahu dirinya pendarahan, dan dengan kondisi perut sakit, dia tetap melanjutkan bekerja. Waktu penghitungan itu, dia bertugas melipat surat.

“Saya kan berdiri. Perut saya sakit luar biasa. Kalau sudah tidak kuat saya duduk sebentar, untuk menahan rasa sakit. Sampai tidak tahu posisi yang nyaman. Sakit banget,” kenang Lupnatul, dengan ekspresi wajah menangis.

Sekitar Maghrib, lanjutnya, dia pergi lagi ke kamar mandi, dan pendarahannya belum selesai juga. Namun, perempuan kelahiran 9 Januari 1999 itu, tetap melanjutkan tugasnya dalam proses pungut-hitung hingga pukul 05:00 WIB pagi.

"Baru setelah itu, saya pulang dan istirahat. Namun, tetap perut saya merasakan sakit," lanjut perempuan yang akrab disapa Lupna tersebut. 

Dia bersama keluarganya, kemudian memutuskan untuk periksa ke bidan desa setempat, dan hasilnya menunjukkan bahwa janin yang baru berumur kurang dari tiga bulan itu, sudah tiada.

“Kata bidan saya terlalu kelelahan, dan berpengaruh pada kandungan. Apalagi, kandungan saya lemah katanya,” jelasnya dengan muka masam.

Janin yang dikandung Lupnatul Hairoh, merupakan buah pertama dari pernikahannya dengan Fawaid. Usia pernikahan keduanya sekitar enam bulan.

Keduanya mengaku sangat sedih, dan merasa kehilangan dengan kecelakaan yang menimpa calon anak mereka. Apalagi, anak pertama.

“Kami sangat mendambakan anak pertama. Kalau tahu begini kan gak ikut (jadi KPPS). Tapi kami sudah ikhlas, mau gimana lagi. Mungkin belum waktunya, dan bukan saatnya diberi tanggung jawab anak oleh Allah,” kata Lupnah, dengan muka pasrah.

Meski harus kehilangan calon anaknya, baik Lupnatul Hairoh maupun Fawaid, mengaku bangga karena bisa ikut menyukseskan pesta demokrasi lima tahunan, yakni Pemilu serentak tahun 2019 ini. Hal itu, semata-mata demi bangsa dan negara. (*)