Cerita Para Pemburu Jerat Harimau di Hutan Kerinci Seblat
- Hari Siswoyo
VIVA – Nyanyian Siamang birahi merambati bukit-bukit terjal ketika kami terhuyung di punggungan terjal hampir 70 derajat di perut hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, pekan lalu.
Orkestra tanpa dirigen itu terdengar bersahutan dengan siulan burung hutan yang berhamburan di rerimbunan daun. Suara-suara itu seolah menertawakan kami yang tengah kelelahan dengan ransel berisi beban lebih dari 30 kilogram.
"Pokoknya sama-sama berdoa kalau ketemu harimau. Kita doa minta selamat dari Tuhan. Harimau juga berdoa. Tapi doanya, doa makan," lelucon seorang rekan perjalanan lumayan menghibur betis kami yang mengeras bak tunggul karena sudah menanjak berjam-jam.
Pagi menjelang siang itu, matahari serasa menusuk kepala dan memaksa keringat mengucur deras membasahi pakaian di badan. Belum dengan derita kaki yang dibungkus dengan sepatu boot karet nan pengap, lengkaplah sudah.
"Itu Tebo Geleup. Tahun lalu banyak jerat di situ," ujar Eef menunjuk undakan bukit berselimut kabut di ujung mata.
Beberapa tahun ini, Eef dan timnya memang kerap keluar masuk hutan TNKS di Lebong untuk menyisir jerat satwa langka, khususnya harimau sumatra, milik para pemburu di hutan.
Di ujung parang mereka lah, keberlangsungan nasib harimau berada. Risiko nyawa sudah pasti menjadi taruhannya. Pilihannya kalau tidak bertemu pemburu yang bersenjata, mungkin saj berpapasan dengan Harimau dan kawan-kawannya yang sesama pemakan daging.
Sepanjang tahun 2016 hingga 2018. Eef dan tim berhasil mengumpulkan 20 jerat harimau dan lebih dari 100 jerat satwa seperti kijang, rusa, tapir, kancil, napu atau yang lainnya. Meski begitu, kerja keras tim ini masih terbatas. Sebab selama rentang itu, masih ada enam ekor harimau sumatra yang akhirnya terbunuh oleh pemburu.
"Perburuan harimau tidak akan pernah berhenti dan selalu berubah metodenya," ujar Eef.
Jalur Harimau
Tebo Geleup merupakan penyebutan warga suku Rejang yang berdiam di Kecamatan Topos Lebong yang berarti bukit petir. Sebab, konon ceritanya bukit setinggi hampir 1.500 meter ini di setiap musim kemarau kerap memancarkan cahaya terang dan petir dari langit. Tak jelas apa penyebabnya.
"Kabarnya ada emas di bukit itu," ujar Yon, petani kopi yang pondoknya kami tumpangi untuk bermalam. Bapak tiga anak ini sebenarnya salah seorang dari sekian banyak perambah hutan di kawasan TNKS.