Jelang Tuntutan, Pengacara Ahmad Dhani Minta Jaksa Utamakan Keadilan
- ANTARA FOTO/Didik Suhartono
VIVA – Terdakwa pencemaran nama baik dalam vlog berujar ‘idiot’, Ahmad Dhani Prasetyo, akan menjalani sidang dengan agenda tuntutan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, pada Kamis siang, 11 April 2019.Â
Kuasa hukum Dhani, Aldwin Rahadian berharap, jaksa penuntut umum lebih mempertimbangkan prinsip keadilan dari pada tuntutan secara formil.
Aldwin mengatakan, fakta di dalam persidangan jelas terungkap bahwa Dhani tidak bisa didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan jaksa. Ahli, papar dia, juga berpendapat seperti itu.
"Oleh karena itu kami berharap JPU lebih mengedepankan keadilan dan objektivitas dalam perkara dibanding tuntutan yang sifatnya formil," kata Aldwin kepada VIVA pada Kamis, 11 April 2019.
Sebelumnya, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Richard Marpaung, mengatakan bahwa pihaknya telah siap membacakan tuntutan untuk Ahmad Dhani. "Ya, hari ini tuntutan. Sudah kami persiapkan surat tuntutannya," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Richard Marpaung, dikonfirmasi VIVA.
Perkara yang membelit politikus Partai Gerindra itu tak hanya membedah kekuatan saksi fakta dari pihak jaksa maupun pihak Ahmad Dhani. Namun, juga adu kekuatan argumentasi antara ahli yang dihadirkan jaksa dengan ahli yang dihadirkan pihak Dhani.
Fokus adu kuat bukti dan pendapat akademik perkara itu ialah pada ada atau tidaknya unsur pidana dilakukan oleh Dhani sesuai Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, mengacu pada Vlog ujaran 'idiot' yang dibuat dan disebarkan terdakwa melalui akun Instagramnya pada Minggu pagi, 26 Agustus 2018 lalu.
Menurut ahli dari pihak terdakwa dalam sidang sebelumnya, yakni ahli hukum ITE dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Teguh Arifiyadi, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak boleh dilepaskan dari Pasal 310-311 KUHPidana. Jika lepas, maka akan menimbulkan multitafsir. Bila terjadi seperti itu, maka norma hukum mengikat yang seharusnya melekat pada pasal tersebut akan tercerabut.
Sementara ahli hukum pidana yang dihadirkan JPU dari Universitas Pelita Harapan, Jusuf Jacobus, sempat terlibat debat kusir terkait Pasal 27 ayat (3), terutama soal apakah korban pencemaran dan fitnah haruskah perseorangan atau badan hukum. Dia merujuk pendapatnya pada pakar hukum R Soesilo. (mus)