Moeldoko: Jangan Cari Gara-gara dengan TNI

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

VIVA – Penahanan aktivis yang juga dosen UNJ, Robertus Robet saat aksi Kamisan yang dinilai menyinggung TNI, menjadi ramai diperbincangkan. Terutama pasca penjemputan terhadap Robertus yang dilakukan pihak Kepolisian.

Respons RUU TNI, Panglima: Sekarang Bukan Dwifungsi Lagi, tapi Multifungsi

Ia dianggap melecehkan TNI, setelah tersebar video orasinya yang memplesetkan lagu mengenai TNI. Lagu itu biasa dinyanyikan demonstran saat Reformasi 1998 itu.

Mantan Panglima TNI yang kini menjabat sebagai Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) TNI Moeldoko mengatakan, sebaiknya institusi seperti TNI dihormati.

Roadmap Repatriasi Hak Militer Sumber Daya Pertahanan Negara

Moeldoko menjelaskan, sejak Reformasi 1998 TNI juga berusaha memperbaiki diri. Melakukan reformasi di internal, termasuk membiasakan untuk menerima kritikan dari masyarakat. TNI juga berusaha menjadi profesional, tidak terlibat dalam bisnis dan masuk dalam area politik praktis.

"Yang menginginkan TNI profesional justru dulu rakyat, sekarang TNI yang ingin agar profesional, tetapi kemampuan negara belum mampu," kata Moeldoko, saat ditemui di kantornya, Gedung Bina Graha, Jakarta, Jumat 8 Maret 2019.

Suciwati Soroti Revisi UU TNI, Ini Kata Dia

Kini, kata dia, TNI yang meminta agar mereka profesional. Tidak ingin kembali ke dwi fungsi. Namun, untuk  menjadi profesional maka negara harus menjamin kesejahteraan, dan pemenuhan hak-hak yang lain. Tapi, lanjutnya, itu belum mampu sepenuhnya diberikan negara.

Peralatan alutsista pun, masih esensial minimum, belum maksimum. Tetapi dengan segala keterbatasan itu, kata Moeldoko, TNI tidak pernah mengeluh. Maka dalam kondisi seperti ini, ia berharap institusi TNI juga dihormati.

"Jadi menurut saya janganlah rekan-rekan sekalian para pegiat apapun namanya itu jangan cari gara-gara dengan TNI, enggak usah. Jangan mencari popularitas melawan TNI, jangan, TNI milik kita semua. Kalau dulu boleh TNI diposisikan musuh bersama, tahun 1998 saya masih ingat tapi sekarang jangan," ujarnya menegaskan.

Situasi sudah berbeda, antara TNI yang dulu bernama ABRI dengan yang sekarang ini. Ia mengakui, institusi yang sempat ia pimpin itu tidak alergi terhadap kritikan. Tapi ia meminta, agar mengkritik yang baik.

Rakyat bersama TNI, lanjut Moeldoko, lebih baik hidup berdampingan. Tanpa melihat masa lalu TNI yang sempat menjadi sorotan ketika penerapan dwi fungsi itu.

"Kritik boleh tapi jangan merusak piskologi prajurit, psikologi prajurit kita sudah baik. Jangan dilukai dengan hal-hal itu, nyanyian masa lalu. Sudahlah masa lalu jangan masa lalu dibawa ke sekarang, jangan melihat tentara dari frame masa lalu, enggak ketemu wong TNI sudah berubah," ucap Moeldoko.

Maka dari itu, ia berharap masyarakat dan aktivis memahami. Ia menjamin, isu bahwa TNI ingin mengembalikan dwi fungsi seperti saat era Orde Baru, adalah tidak benar. "Saya pastikan tidak akan kembali dwi fungsi TNI, itu kunci." 

Sebelumnya Dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet telah meminta maaf kepada institusi TNI terkait orasinya pada acara Kamisan di Monas, Jakarta, beberapa waktu lalu.

"Saya telah menyingung dan dianggap menghina lembaga atau institusi. Saya pertama-tama ingin menyampaikan permohonan maaf, tidak ada maksud saya untuk menghina atau merendahkan institusi TNI yang sama-sama kita cintai," ujar Robertus Robet di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 7 Maret 2019. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya