Robertus Robet, Aktivis Penentang Orde Baru Ditangkap Polisi
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA – Robertus Robet, seorang dosen dan aktivis HAM ditangkap di rumahnya sekitar pukul 23.45 WIB pada Kamis, 6 Maret 2019. Dia dibawa ke Mabes Polri atas tuduhan UU ITE terkait orasi dalam aksi damai Kamisan, 28 Februari 2019 lalu.
Alasan penangkapan adalah Pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Aksi Kamisan tersebut menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil. Rencana ini dianggap jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 & amandemennya, UU TNI & TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
Hal ini juga dianggap berlawanan dengan agenda reformasi TNI. Memasukan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru yg telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.
"Robet tidak sedikit pun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru," dirilis tim Advokasi Kebebasan Berekspresi yakni KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial dan jaringannya yang sudah dikonfirmasi VIVA, Kamis 7 Maret 2019.
Pasal-pasal yang dikenakan adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws) dan sungguh tidak tepat, Pasal 207 KUHP berbunyi "barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
Padahal Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya mengatakan dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah).
Bagian lain putusan tersebut mengatakan "Menimbang bahwa dalam kaitan pemberlakuan pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau hadapan publik (gestelde macht of openbaar lichaam)lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).
Sedangkan pasal 28 ayat (2) jo, UU ITE mengatur "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hakmenyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasakebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentuberdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)."
Penangkapan kepada Robertus Robet dianggap ancaman kebebasan sipil di masa reformasi.
"Kami memandan Robet tidak menyebarkan informasi apa pun melalui elektronik karena yang dianggap
masalah adalah refleksinya. Kedua, refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan. Ketiga, TNI jelas bukan individu dan tidak bisa "dikecilkan" menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga negara," lanjut rilis pers.
Penangkapan terhadap Robertus Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi. Robertus diminta segera dibebaskan demi hukum dan keadilan.