Sejarawan Gempa: Masyarakat Sumbar Hidup di Tanah yang Terus Merekah

Satu di antara puluhan rumah yang rusak akibat gempa di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.
Sumber :
  • VIVA/Andri Mardiansyah

VIVA – Gempa yang mengguncang Kabupaten Solok Selatan pada 28 Februari 2019 mengingatkan lagi bahwa Sumatera Barat memang dalam ancaman serius gempa tektonik. Tak hanya berasal dari laut (subduksi) dan sesar Sumatera yang telah diketahui, namun ternyata ada patahan yang belum terpetakan.

2025 Tahun Ular Kayu, Indigo Ini Ramal Hal Mengerikan yang Terjadi di 2025

BMKG menyatakan, lindu di Solok Selatan itu adalah jenis gempa tektonik kerak dangkal (shallow crustal earthquake) yang dipicu oleh aktivitas sesar aktif yang belum terpetakan dan belum diketahui namanya. Itu membuktikan bahwa ancaman gempa darat tak kalah serius dibandingkan potensi megathrust.

Menurut peneliti sejarah kegempaan Sumatera Barat, Yose Hendra, sebenarnya sebagian besar masyarakat di Ranah Minang hidup di atas tanah yang terus merekah. Itu artinya, mau tidak mau, harus diperhatikan dengan serius. Tidak hanya fokus mengantisipasi ancaman dari megathrust.

Gempa Guncang Kabupaten Sukabumi dan Konawe Selatan

Dari total 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat, kata Yose, Kota Payakumbuah, Kabupaten Tanah Datar, dan Kabupaten Dharmasraya yang sedikit lebih aman dari ancaman rekahan tanah akibat gempa darat zona sesar Sumatera. Selebihnya sangat rentan.

“Sangat jelas, hidup di Sumbar, hidup di tanah yang terus merekah," kata Yose dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 4 Maret 2019.

Gempa 7,3 Magnitudo di Vanuatu, Korban Meninggal Menjadi 14 Orang

Anak-anak korban gempa di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, di dalam tend

Dia mengingatkan, ranting patahan Sumatera yang sudah dipetakan mestinya dipakai sebagai rujukan untuk kebijakan pembangunan. Begitu pula tentang riwayat gempa di Sumatera Barat seyogiayanya dijadikan pertimbangan untuk pembangunan. "Nyatanya, kota-kota baru didirikan di atas sesar seperti Padang Aro, ibu kota Solok Selatan; dan Arosuka, ibu kota Kabupaten Solok,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ternyata lindu di Solok Selatan tidak masuk dalam segmen bagian patahan Sumatera. Ini jelas masih ada patahan-patahan Sumatera di daratan Sumatera. Maka kunci semuanya adalah kesiapsiagaan atau memperkuat mitigasi yang berbasis tradisional dari sisi bangunan maupun yang berbasis konsensus pegiat kebencanaan.

Yose menjelaskan, berdasarkan riset para ahli kegempaan, khusus untuk Segmen Suliti, patahan Sumatera pada segmen ini, menelusuri lembah Sungai Suliti ke tenggara hingga anak-anak Sungai Liki di barat laut Gunung Kerinci, dengan panjang total 90 kilometer. Ujung utara segmen berada pada Danau di Atas dan Danau di Bawah dengan lebar zona 4 kilometer.

Potensi kuat gempa maksimum pada segmen ini adalah M 7,4. Salah satu kejadian gempa terbesar di segmen ini terjadi pada 9 Juni 1943, dengan kekuatan 7,4 SR.

Sementara itu, untuk Segmen Siulak, membentang dari wilayah Kerinci, Jambi, hingga ke Solok Selatan, Sumatera Barat. Ujung selatan Segmen itu berada di wilayah Jambi menyusuri lembah di barat daya hingga barat laut Gunung Kerinci, bersentuhan dengan segmen Suliti di wilayah Solok Selatan dengan panjang total 70 kilometer.

Potensi kuat gempa maksimum pada segmen ini adalah M 7,2. yang tercatat pada 9 Juni 1909 dengan kekuatan 7,7 SR. Juga pada 6 Oktober 1995.

Bahkan, riset yang pernah dilakukan oleh Kerry Sieh dan Danny Hilman Natawidjaja menyebutkan bahwa Sesar Sumatra membentang sepanjang 1.900 kilometer (dari Banda Aceh hingga Teluk Semangko di selatan Lampung), membentang paralel dengan palung atau zona subduksi sebagai pengaruh dari konvergensi Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-Australia.

Danny dan Kerry Sieh dalam Neotectonic of The Sumatran Fault, Indonesia, membagi patahan Sumatera ini menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah Utara, Tengah dan Selatan, secara keseluruhan terbagi dalam 19 segmen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya