Gandeng Swiss dalam MLA, Langkah Maju Rampas Aset Koruptor

Ilustrasi demo korupsi proyek e-KTP
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

VIVA – Perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA) antara RI dengan beberapa negara dinilai lengkah positif. Kebijakan ini bisa mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Dalam Sidang Pleidoi Harvey Moeis Tegaskan Bahwa Dirinya Bukan Koruptor, Warganet: Iya, Tapi Hasil Bumi yang Dikeruk

Pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU), Yenti Garnasih mengatakan kerjasama MLA ini sebagai langkah progresif untuk memberantas korupsi. Ia mengapresiasi upaya yang didorong Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.

"Langkah maju dalam upaya pemberantasan korupsi. Sangat maju. Apalagi kerja sama dengan Swiss itu luar biasa. Karena dengan Swiss itu kita sudah lama ingin kerja sama, enggak bisa," kata Yenti dalam keterangannya, Minggu, 17 Februari 2019.

Dituding Korupsi oleh Anggotanya, Segini Harta Kekayaan Dirpolairud Polda Malut Kombes Hariyatmoko

Menurut dia, Swiss selama ini menjadi sasaran pelaku kejahatan korupsi untuk menyimpan uang hasil kejahatannya. Maka itu, kerja sama MLA dengan Swiss patut diapresiasi.

"Ini prestasi. Ini kan sudah jadi cita-cita bangsa sejak lama. Apalagi angka korupsinya negara kita tinggi, kita ingin sekali kerja sama MLA," ujar Yenti.

Geger! Kombes Pol Hariyatmoko Diduga Korupsi, Anggota Sendiri Bongkar Modusnya

Kemudian, Yenti menekankan efek MLA yang didorong Yasonna bisa menitikberatkan kepada penelusuran uang hasil korupsi yang dibawa ke luar negeri. Lembaga penegak hukum pun bisa diberikan akses dalam kasus kejahatan korupsi.

Bismar Siregar dan Yenti GarnasihFoto: Yenti Garnasih (kanan)

Yenti juga mengingatkan seperti MLA antara RI dan Uni Emirat Arab (UEA).? Kesepakatan ini tertuang oleh Pemerintah dan DPR RI dalam rapat paripurna DPR pada Rabu, 13 Februari 2019.

Sebelumnya, Pemerintah RI menandatangani kesepakatan yang sama dengan pemerintah Swiss. Dalam perjanjian ini terkait masalah pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana.

Dari catatannya, selain Swiss dan UEA, Pemerintah Indonesia RI juga sudah menjalin kerja sama dengan Asean. Ada juga perjanjian dengan Korsel Australia, Hong Kong, Cina, India.

Yenti menilai dalam perjanjian MLA itu tak hanya menitikberatkan pada putusan pengadilan. Namun, juga kerja sama yang sudah dilakukan sejak penyidikan. Kata dia, dengan MLA, pemerintah RI bisa berkoordinasi dengan otoritas negara tersebut untuk membekukan aset ataupun meminta rekam data transaksi bank.

"Setelah ada putusan (pengadilan), ibaratnya begini tolong kami jangan dipersulit untuk merampas, mengembalikan ke negara," kata Yenti.

Terkait hal ini, ia juga menyinggung tugas penegak hukum adalah menerapkan pasal TPPU. Jeratan pasal ini bisa disertai pasal korupsi untuk menyeret para koruptor.

Tapi, ia mengingatkan lagi bila MLA berkaitan dengan kerja sama untuk korupsi. Hal ini mencakup pelacakan hasil korupsi mulai penyidikan, penuntutan, dan sampai perampasan hasil kejahatan. Lembaga penegak hukum pun diminta kompak dalam menindak koruptor.

"Kalau penegak hukum, KPK, Polri dan Kejaksaan kompak dalam menerapkan TPPU bersamaan dengan undang-undang korupsi," tutur dosen Universitas Trisakti itu.

Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut merespons MLA ini. Lembaga anti rasuah ini ikut menyambut baik perjanjian MLA antara RI dengan Swiss. KPK menilai kerja sama itu bisa mempersempit ruang pelaku korupsi untuk menyembunyikan kejahatannya.

"Karena proses identifikasi mulai penyelidikan hingga penuntutan sangat penting untuk bisa menemukan adanya alat bukti atau hasil kejahatan yang berada di luar negeri," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya