Mahfud MD Bilang Pemerintah Tak Bisa Dikte KPU seperti Zaman Orba
- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA – Mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, berpendapat bahwa pemilu sekarang lebih bermartabat karena diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang relatif independen.
KPU sebagai penyelenggara pemilu, kata Mahfud, ialah lembaga yang mandiri dan di luar ranah pemerintah atau kekuasan lembaga eksekutif. Karena alasan itu, pemerintah tak bisa mendikte atau mengatur-atur KPU sesuai kepentingan penguasa.
"[pemerintah] enggak bisa mendikte KPU; negara sudah mengatakan ini lembaga independen," kata Mahfud MD di kantor MMD Institute, Jakarta, Kamis, 14 Februari 2019.
Dia mengakui, memang masih ada sebagian kalangan yang mencurigai KPU tak independen atau menjadi alat pemerintah. Namun, menurutnya, dalam sedikitnya tiga kali pemilu terakhir, KPU sudah cukup memperlihatkan tugas dan fungsinya sebagai lembaga mandiri.
Penyelenggaraan pemilunya pun sudah relatif terbuka atau transparan sehingga nyaris tak ada celah bagi penguasa untuk mengintervensi.
Di sisi lain, Mahfud mengingatkan, KPU diawasi atau dikontrol oleh lembaga lain yang disebut Badan Pengawas Pemilu. Bahkan, andai KPU dan Bawaslu keliru atau berbuat salah, ada semacam lembaga pengadil yang disebut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.
Kompleksitas lembaga negara, termasuk lembaga yang berurusan dengan penyelenggaraan pemilu seperti sekarang, kata Mahfud, berbeda jauh dengan pada masa pemerintahan Orde Baru.
"Di zaman Orde Baru itu ketua penyelenggaranya, LPU (Lembaga Pemilihan Umum), dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri, yang ketuanya di [daerah dijabat] gubernur, bupati dan wali kota. Pengawasnya Kejaksaan Agung, bukan Bawaslu, yang juga bagian dari LPU itu sendiri," katanya.
Kini semua orang bebas berpartisipasi dalam politik dan pemilu. Bahkan, ketika orang tidak puas lagi mengenai hasil pemilu, menyangkut hasil calon legislatif atau pemilu presiden, mereka bisa menggugatnya lewat Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi, Mahfud berargumentasi, ialah satu cabang peradilan yang khusus menangani sengketa konstitusi dan kepemiluan. Lembaga peradilan itu lebih independen lagi dalam memutus perkara sengketa pemilu. Dia mencontohkan, pada 2009, Mahkamah membatalkan 72 orang yang terpilih sebagai anggota DPR/DPRD.
"Sebelum [ada lembaga Mahkamah Konstitusi] itu, belum ada [pembatalan anggota DPR] .... Sekelas Pak Agung Laksono, Ketua DPR aktif waktu itu, terpilih resmi di KPU, kita batalkan--bisa. Zaman Orde Baru, jangan berharap," ujarnya.