Fadli dan Fahri Pertama Dibui jika Kriminalisasi karena Kritik Jokowi
- VIVA.co.id/ Edwin Firdaus
VIVA – Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahuruziy menepis anggapan sebagian kalangan oposisi bahwa para pengkritik pemerintah lebih mudah dikriminalisasi dan dijadikan tersangka.
Mereka yang berpendapat begitu mencontohkan beberapa orang yang kritis terhadap pemerintah, seperti Buni Yani, Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani Prasetyo, dan terbaru Slamet Maarif, Ketua Persaudaraan Alumni 212. Slamet menjadi tersangka pelanggaran Undang-Undang tentang Pemilu karena ceramahnya dalam kegiatan Tablig Akbar 212 di Solo.
Romahuruziy menganggap tudingan itu tak berdasar dan tak logis. Sebab kenyataannya sejumlah politikus yang dikenal amat kritis terhadap pemerintah Presiden Joko Widodo selama ini, misal Fadli Zon dan Fahri Hamzah, malah baik-baik saja. Kritik politikus Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera itu, menurutnya, justru lebih keras daripada Slamet dan mestinya mereka lebih dahulu dipenjarakan.
"Kalau atas dasar kritik kemudian seorang dijadikan tersangka, maka Fahri dan Fadli jadi yang pertama, kan, [tapi] ternyata tidak," kata Romahuruziy di Istana Negara, Jakarta, Rabu 13 Februari 2019.
Pengkritik dan oposisi dalam demokrasi, kata Romahuruziy, sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang bagi penguasa. Soalnya kalau penguasa tanpa kontrol pastilah rawan korupsi dan penyimpangan. Namun banyak yang mengkritik pemerintah tapi tidak menjadi tersangka, dan karenanya asumsi itu otomatis gugur.
"Itu, kan, imajinasi saja, karena kalau, misalnya, kritik kemudian dijadikan tersangka, banyak yang kritik tidak dijadikan tersangka," katanya.
Polisi menetapkan seseorang sebagai tersangka pelanggaran hukum, katanya mengingatkan, tentu berdasarkan peraturan perundangan, di antaranya karena delik aduan atau delik materi. Hampir tak ada celah bagi penguasa untuk memengaruhi atau mengintervensi otoritas aparat penegak hukum.