Pakar Hukum: MLA Harus Diperkuat UU Perampasan Aset
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA – Ahli Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari Universitas Trisaksi, Yenti Ganarsih menilai, perjanjian bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Swiss dibutuhkan Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi dan TPPU.Â
Hal ini karena dengan MLA, aparat penegak hukum dapat melacak, memblokir, serta bisa merampas aset-aset yang berasal dari korupsi dan pencucian uang.Â
Tak hanya korupsi dan pencucian uang, MLA ini, kata Yenti, juga bisa menjamah aset-aset terkait penggelapan pajak.
"MLA ini sangat positif karena ini yang sangat dibutuhkan dalam rangka pemberantasan korupsi dan hasil korupsi dengan TPPU. MLA ini adalah perjanjian bilateral yang sangat luas karena meliputi pelacakan aset, pembekuan, blokir dan perampasan aset hasil kejahatan. Termasuk juga terkait kejahatan pajak yang dilarikan ke luar negeri," kata Yenti kepada wartawan, Rabu, 6 Februari 2019.
Terlebih, perjanjian MLA antara Indonesia dan Swiss ini bersifat retroaktif. Dengan demikian, perjanjian tersebut dapat diberlakukan bagi kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum perjanjian tersebut dibuat dan hasil kejahatannya disimpan di Swiss.
"Perjanjian ini bersifat retroaktif artinya bisa diberlakukan untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum perjanjian ini dibuat dan hasil kejahatannya di Swiss," kata mantan pansel pimpinan KPK tersebut.
Untuk itu, Yenti memandang, saat ini yang diperlukan adalah komitmen dan keseriusan aparat penegak hukum untuk menangani kejahatan yang hasilnya mengalir ke luar negeri. Bukan cuma Swiss, terdapat sejumlah negara lain yang juga memiliki perjanjian MLA dengan Indonesia.
Yenti juga mendorong pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Yenti meyakini penerapan TPPU dan UU Perampasan akan memudahkan aparat penegak hukum untuk memulihkan kerugian negara atau mengembalikan aset hasil dari korupsi dan kejahatan lainnya.
"Salah satunya harus menerapkan TPPU supaya mudah dalam pengembalian aset, dan untuk lebih mempermudah segera bikin UU Perampasan Aset hasil kejahatan," ujar Yenti.Â
Yenti mengakui, sebagian kalangan masih menganggap Swiss sebagai negara tujuan untuk menyimpan aset hasil kejahatan termasuk korupsi dan pajak lantaran termasuk negara yang ketat terkait kerahasiaan perbankan. Meski, kata Yenti, Swiss saat ini sudah mulai berubah.
"Tinggal kecermatan dan semangat penegak hukum kita saja. Dan, tentu dengan perjanjian ini, mereka (koruptor) akan menghindari Swiss paling tidak," tuturnya. (art)