Brigjen Krishna Murti: Pelaku Hoax Sasar Kaum Milenial

Karomisinter Divisi Hubungan Internasional Polri Brigjen Krishna Murti.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Zahrul Darmawan (Depok)

VIVA – Kepala Biro Misi Internasional (Karomisinter) Divisi Hubungan Internasional Polri, Brigjen Krishna Murti mengatakan, belakangan ini berita bohong alias hoax kian marak terjadi. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh politik. Ironisnya, kondisi itu mulai dimanfaatkan untuk menyasar kaum milenial.    

Marak Hoax, Siswa Dituntut Punya Keterampilan Kritis Hadapi Perkembangan Teknologi

“Dalam teori dan penelitian buku sudah dijelaskan alat-alat itu, simbol-simbol hoax itu, berita bohong jadi digunakan sebagai alat politik dan tahun ini adalah tahun politik,” kata Krishna saat mengikuti deklarasi milenial anti hoax, di Vokasi Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Senin, 4 Februari 2019.

Krishna mengatakan, kelompok milenial ini sebagian besar di antara mereka adalah pemilih pemula dalam konteks tahun politik. Seharusnya, mereka diberi edukasi terkait kemampuan orang-orang yang akan mereka pilih, baik itu legislatif maupun eksekutif.

Gempar Pesan Berantai FIFA Putuskan Bahrain Kalah WO dari Timnas Indonesia, Benarkah?

“Tapi yang beredar kemudian membingungkan para pemilih-pemilih muda yang pertama kali adalah disinformasi terhadap para calon, baik itu calon yang akan bertarung di pilpres ataupun pileg. Harus ada mekanisme untuk melawan itu,” katanya.

Saat ditanya apakah hal itu mengkhawatirkan atau tidak, menurut Krishna, jika tidak dihentikan ini bisa menjadi hal biasa. “Hal buruk tidak boleh dibiasakan karena kalau hal buruk dibiasakan maka hal baik menjadi aneh. Nah di kita sekarang membiasakan hal-hal baik bagi para mahasiswa,” ujarnya.

Pemerintah Latih Ratusan Ribu Orang Jadi 'Ninja Digital'

Terkait hal itu, Krishna mengatakan, Polri dalam hal ini salah satu tugasnya adalah melakukan pembinaan komunikasi dengan masyarakat. Kampus adalah tempat yang baik untuk berkomunikasi, bagaimana nanti frekuensinya itu bisa sama sehingga simbol-simbol yang digunakan mahasiswa bisa masuk.

“Terkait dengan isu acaranya sekarang ini memang masih beredar pikiran-pikiran atas suatu peristiwa, fenomena yang kemudian beredar melalui sosial media sebagai alat. Dilakukan oleh siapapun baik itu secara nyata, sukarela, atau dilakukan secara sengaja oleh mereka untuk kepentingan tertentu," ujarnya.

Adapun bentuknya, kata Krishna, bisa seperti hate speech, hoax berita bohong, kemudian meme-meme yang tidak jelas dan sebagainya. Hal ini ditangkap oleh mata publik yang masih belum cerdas memaknai apakah ini hal yang benar atau tidak. Adapun tujuan pelaku antara lain membangkitkan amarah, membangkitkan eksklusifme atas kelompok, suku, etnis, ras, antar golongan dan lain-lain.

“Kalau ini terus tidak ada upaya pengendalian dari kita siapapun kita ini apakah polisi, masyarakat, pendidikan dan sebagainya maka ini akan memakan daya pikir dan daya nalar masyarakat-masyarakat yang tidak mampu membacanya dengan cerdas,” ujarnya.

Hoax Politik

Kepala Program Studi Vokasi Komunikasi UI, Devie Rachmawati mengatakan, perkembangan hoax yang paling utama berdasarkan studi adalah politik. Namun, hoax soal keuangan, kesehatan itu tidak sedikit dan itu sudah menimbulkan kerugian materil maupun moril.

“Banyak yang stres ketika uangnya hilang atau nyaris kehilangan nyawa misalnya akibat terbawa arus hoax tidak boleh vaksin. Jadi konsen kami soal itu bahwa hoax itu bukan soal politik saja, walupun hoax terbesar di seluruh dunia adalah soal politik,” katanya.

Hal ini, menurut Devie, kemudian membuat Vokasi UI menjadi yang terdepan melakukan ini, deklarasi anti hoax. “Alasannya karena kami punya mahasiswa, mahasiswa adalah anak-anak muda yang energinya masih banyak, mereka adalah anak-anak yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan,” ujarnya.

UI, lanjut Devie, bermimpi bukan menjadi yang lebih baik tapi memulai untuk merangsang penangkalan hoax. Hal yang perlu diketahui, bukan anak muda yang tergerus hoax, yang paling banyak justru generasi di atas milenial.

“Harapannya kalau dia (anak) tahu bisa menlindungi orangtua. Kita tahu apa saja lapor Polri, semua ke Polri. Bayangkan kalau Polri harus bisa mengawasi setiap akun tidak akan mampu. Inilah tugas bersama, menangkal hoax." (mus) 


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya