KBRI Didesak Pulangkan Jasad Nelayan Aceh yang Dikubur di Myanmar
- VIVA/Dani Randi
VIVA – 16 nelayan Aceh Timur yang ditangkap sudah dibebaskan oleh Pemerintah Myanmar. Namun, hanya 14 orang yang berhasil dipulangkan. Mereka tiba di Banda Aceh pada Rabu sore, 30 Januari 2019.
Sementara nakhoda kapal ditahan dan satu orang nelayan yang meninggal saat penangkapan sudah dikubur di Kawthong, Myanmar. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, terutama dari anggota Dewan Aceh, Iskandar Usman Alfarlaky.
Di hadapan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon, Myanmar, Iskandar meminta agar jasad nelayan yang meninggal itu ikut dipulangkan ke Aceh.
Begitu pun nakhoda kapal yang masih ditahan pihak otoritas Myanmar. “Kita akan terus mendesak KBRI di Myanmar untuk memulangkan jasad nelayan itu, juga nakhoda kapal yang masih ditahan,” kata Politisi Partai Aceh ini usai penyambutan kedatangan 14 Nelayan Aceh, di Pendopo Plt Gubernur Aceh.
Kata dia, banyak isu yang simpang siur terkait kematian nelayan yang bernama Nurdin (41) itu. Sehingga ia meminta penjelasan pada KBRI, agar tidak menimbulkan keresahan di keluarga korban.
Apalagi, kata Iskandar, menurut informasi yang ia dapatkan saat penangkapan itu, 16 nelayan Aceh ini disuruh berenang untuk mendarat ke pinggir pantai. Menurutnya, itu perlakuan yang tidak elok dalam memperlakukan WNA yang terdampar. Akibatnya, Nurdin meninggal dalam peristiwa itu karena tidak bisa berenang.
Hal itu berbanding terbalik saat Kapal Myanmar mengalami karam di perairan Aceh pada 19 Desember 2018 lalu. Di situ, nelayan Aceh Timur memberikan pertolongan dengan cara mengevakuasi 12 awak kapal yang semuanya warga negara Myanmar. Dan mengangkut mereka dengan boat ke pinggir pantai.
Sementara itu, Samidan rekan korban yang sudah dibebaskan oleh Pemerintah Myanmar, membenarkan bahwa Nurdin meninggal karena disuruh berenang ke tepi pantai.
Aparat Myanmar saat itu tidak bisa mendekat ke kapal nelayan. Lalu, 16 nelayan ini disuruh terjun ke air. “Yang meninggal itu tidak bisa berenang, dia punya pelampung, tapi lepas dari tangannya,” kata Samidan saat diwawancarai usai bertemu dengan Plt Gubernur Aceh dan KBRI Yangon.
Samidan, satu dari 13 nelayan Aceh yang dipulangkan juga berharap agar rekan mereka yang masih ditahan, segera dibebaskan. “Kami pulang (ke Aceh) tidak enak hati, karena rekan kami masih ditahan,” sebutnya.
Duta Besar Republik Indonesia di Yangon, Myanmar, Prof. Dr. Iza Fadri yang ikut mengantar 14 nelayan pulang ke Aceh, mengaku masih bernegosiasi dengan Pemerintah Myanmar terkait pengurusan pemulangan jasad nelayan yang dikubur di Kawthong.
Iza Fadri menyebut sempat komplain pada Pemerintah Myanmar karena adanya nelayan yang meninggal. “Saat itu saya sempat komplain kepada mereka (terkait nelayan yang meninggal). Saat dicek, betul sudah dimakamkan di pemakaman Islam, tapi kita usahakan untuk mengurus ini,” ujarnya.
Sementara soal Nakhoda kapal yang ditahan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Sebab, kata dia, menurut otoritas Myanmar, nelayan ini terbukti melakukan Ilegal fishing dengan bukti ditemukan ikan di dalam kapal mereka.
Sehingga otoritas Myanmar menahan kapten kapal. Kemudian 14 orang lainnya dibebaskan karena alasan kemanusiaan. “Kapten kapal harus diproses pradilan, ini sudah UU di Myanmar,” katanya.
16 nelayan Aceh ditangkap aparat Myanmar pada 6 November 2018. Selama dua bulan mereka ditahan hingga akhirnya 14 orang menerima ampunan dari Pemerintah Myanmar dan dibebaskan pada 29 Januari 2019.
Ke 16 nelayan itu ialah Nurdin (meninggal), Jamaludin (36) kapten kapal yang masih ditahan. Kemudian yang dibebaskan ialah Nazaruddin (33), Jamaludin Amno (37), Safrizal (38), Darman (30), Muhammad Yais (20), Muhammad Akbar (15), Saipudin (33).
Selanjutnya Faturrahman (15), Sulaiman (25), Samidan (41), Amat Dani (23), Rukni (43), Efendi (28) dan Umar Saputra (23).