Balada Pemburu Kerak Emas Monas dari Lebong Tandai

Contoh batu yang mengandung urat emas dari lubang tambang.
Sumber :
  • VIVA / Harry Siswoyo (Bengkulu)

VIVA – Suara godam bergagang kayu yang meremukkan batu sebesar tinju, bersahut-sahutan dengan gemericik air yang meloncati undakan kincir berbentuk roda bendi dari kayu di setiap sudut rumah warga Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara.

Bersama itu, derit-derit tabung besi berkarat yang dibebat dengan sabuk karet hitam yang terbuat dari ban mobil bekas, jadi bak lengking dawai melodi yang menusuk. Mereka menggema dan mengalun nyaris 24 jam di telinga siapa pun yang berkunjung ke desa yang pernah dijuluki sebagai Batavia Kecil itu.

"Ini glundung emas namanya," ujar Misnar (58), seorang penambang setempat sembari membetulkan bebat karet hitam di benda berbentuk tabung besi yang bertutup kayu setebal lima sentimeter.

Di Lebong Tandai, setiap rumah pasti memiliki glundung emas. Alat tradisional pemisah emas mentah dari batuan ini bak mahakarya sekaligus aset penting untuk hidup mereka.

Pengakuan Misnar, penamaan glundung berasal dari sebuah silinder dari besi baja dengan diameter sekira 30 sentimeter. Satu buah glundung jangan dikira murah. Setidaknya benda yang menjadi wadah utama untuk merendam batu kasar emas dengan air raksa itu dihargai mencapai Rp800 ribu sampai Rp1 juta per buahnya di pandai besi.

Sementara umumnya, satu set alat pengolah emas milik warga di Lebong Tandai terdiri atas 10 sampai 15 glundung. Benda ini akan berputar dengan bantuan tenaga kincir air, dan sebagai penghubungnya. Tabung-tabung itu dibebat dengan sabuk karet hitam yang biasanya terbuat dari ban mobil bekas.

"Jadi kalau ditotal-total, modal satu set alatnya bisa mencapai lebih dari Rp25 juta," ujar Misnar. "Itu belum biaya pembelian air raksa. Ini kan barang ilegal. Harganya saja mencapai Rp1,6 juta per kilonya. Kadang-kadang lebih," tambahnya.

Karena itulah, glundung emas benar-benar menjadi nyawa bagi para penambang tradisional di Lebong Tandai. Sebab tanpa ini, maka pemisahan emas akan lebih sulit sebagaimana yang dilakukan oleh para pendulang emas di daerah lain.

Awal Perburuan

Sejak lampau. Pulau Sumatera memang telah termasyhur hingga ke tanah Eropa lantaran dikenal dengan sebutan Pulau emas atau Svarnadhipa. Bukti itu ditunjukkan dengan adanya beberapa kerajaan kuno di Sumatera pada abad ke-13 yang telah lebih dahulu memetik emas di tanah Sumatera.

Salah satunya, seperti dituliskan dalam beberapa literatur sejarah adalah Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat. Mereka lah yang banyak membuat tambang emas kuno hingga ke daerah Gunung Kerinci di Jambi dan termasuklah di pedalaman Bengkulu, khususnya di Kabupaten Lebong.

Namun demikian, sampai dengan abad 17. Bengkulu memang belum masuk perhitungan. Bahkan penjabat Inggris, Thomas Stamford Raffles, yang lama bermukim di Bengkulu justru lebih terpesona dengan Damar, Rotan, Pala, Cengkih, kopi dan lain-lain di tanah Bengkulu ketimbang emas.

Karena itu jugalah, banyak tambang kuno di Lebong Bengkulu justru ditinggalkan. Warga juga lebih memilih menggarap hasil bumi yang menjadi keinginan Inggris kala itu.

Hingga tiba abad 18. Inggris pun melimpahkan kekuasaannya di Bengkulu ke tangan Belanda yang kala itu menduduki Singapura. Perjanjian tukar guling inilah yang kemudian menjadi tonggak mula perburuan emas secara masif di Bengkulu.

Lubang-lubang tambang kuno di perut bumi Lebong yang sempat mati suri pun dihidupkan kembali oleh Belanda. Tak tanggung-tanggung ribuan kuli dari tanah Jawa, termasuk orang Cina Singapura pun sampai diikutkan untuk berburu urat emas di Bengkulu.

Dan memang terbukti. Birahi Belanda untuk berburu emas di Bengkulu memang membuahkan hasil yang mengejutkan. Salah satunya yang paling melegenda adalah keberhasilan perusahaan bernama Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong (1897-1942), yang beroperasi di wilayah Kabupaten Lebong atau di Lebong Donok, Tambang Sawah, dan Lebong Simpang.

Bagaimana tidak, konon perusahaan ini bisa memproduksi emas siap jual sedikitnya 10 kilogram per hari. Betul-betul luar biasa.

Dari situ, nama Bengkulu pun mulai harum di tanah Eropa. Orang-orang Belanda pun makin beringas berburu urat emas. Mereka pun mulai meringsek masuk ke wilayah yang lebih jauh dari Kabupaten Lebong, yakni daerah Napal Putih di Kabupaten Bengkulu Utara.

Sebab dari riset yang dilakukan, wilayah baru ini disebut lebih bergelimang emas, lantaran berada di atas lubang-lubang tambang di Lebong. Selain itu, akses transportasi untuk pengiriman emas juga lebih mudah karena berada dekat pesisir laut.

Karena itulah, tepat pada tahun 1901 banyak perusahaan Belanda mulai mencoba peruntungan di Napal Putih hingga kawasan Aer Noar di Bengkulu Utara. Dan terbukti, salah satu perusahaan yang paling mendulang sukses besar adalah perusahaan Belanda bernama Mijnbouw Maatschappij Simau (MMS).

Dalam setahun mereka bisa mengeruk emas hingga 10 ton hanya di tiga tempat yakni di kawasan Aer Noar, Lebong Tandai dan Karang Suluh. Mengagumkan. Bahkan dalam sebuah dokumen yang diterbitkan Belanda, tercatat bahwa emas yang dikeruk dari tambang di Kabupaten Lebong dan Bengkulu Utara saat itu sampai bisa memasok 72 persen kebutuhan emas milik Belanda.

Padahal saat itu, tambang-tambang emas ini hanya beroperasi tak sampai setengah abad atau hanya antara tahun 1896 hingga 1941. "Emas-emas itu dibuat dalam bentuk batangan dengan berat sekitar 25 kilogram per buahnya. Mereka dimasukkan ke peti, dibawa pakai lori lalu dikirim lewat laut," ujar tokoh masyarakat Lebong Tandai Supandi (77). Lelaki renta bertubuh tambun ini mengaku terlahir di Lebong Tandai, lantaran ayah dan ibunya dahulu dibawa paksa dari Jawa sebagai buruh tambang untuk MMS.

Kejayaan yang Hilang

Diakui Napal Putih memang menjadi lumbung harta karun baru bagi Belanda setelah Lebong. Segala daya dan upaya pun dikerahkan ke wilayah ini. Termasuk menyulap desa di perut hutan ini menjadi tempat layaknya pusat aktivitas Belanda di Indonesia yakni Batavia (Jakarta).

Seperti pembangunan rel atau tram kereta api, persis dengan tambang emas gaya Belanda di tempat lain selain Bengkulu. Sampai hari ini, di Lebong Tandai rel-rel baja ini masih tetap dipergunakan warga dan mengular sepanjang 33 kilometer mulai dari Desa Air Tenang sebagai pelabuhan akhir kapal hingga ke Lebong Tandai, tempat pengolahan emas.

"Belanda pakai kereta api uap pada zaman itu. Fungsinya untuk membawa orang dan emas-emas ke pelabuhan. Keretanya besar dan panjang," tutur Supandi.

Tak cuma itu. Sebagai salah satu tambang terbesar di Asia. Jadi, tak ada kata gelap gulita di Lebong Tandai. Setidaknya ada dua sentral listrik yang mengandalkan tenaga kincir air bisa menerangi seluruh rumah warga dan menggerakkan mesin-mesin penggiling emas hingga ke mesin penyedot air di lubang tambang.

Bangunan rumah pun juga dibuat cukup megah. Termasuk juga sarana hiburan mulai dari tempat bermain Billiard, Tenis, hingga ke fasilitas menonton pementasan sandiwara, musik atau tari-tarian. Termasuk kantor pos di Napal Putih. Ya, semuanya bisa dibilang cukup lengkap tersaji saat itu.

Bahkan, dari pengakuan Supandi. Desa Lebong Tandai kala itu juga memiliki sebuah rumah sakit dan gereja nan mewah yang terletak di balik bukit desa mereka. "Cerita ayah saya, dokternya dari Jerman dan Belanda. Mereka melayani pengobatan untuk buruh dan penduduk dari mana saja. Gratis," kenangnya.

"Pokoknya semua mewah betul saat itu kalau dari cerita orang tua saya. Dan itu kenapa juga Lebong Tandai disebut sebagai Little Batavia, atau Jakarta kedua saat itu,"

Namun demikian. Kemegahan dan kejayaan masa silam itu kini bak menghilang. Sepeninggal Belanda yang diusir Jepang pada tahun 1942. Sebagian besar fasilitas pertambangan dan kemewahan di Lebong Tandai, hampir sebagian besar hancur dijarah dan dirusak warga.

Barak pekerja hanya tersisa satu bangunan saja, yakni Rumah Simau. Lalu mesin-mesin pengolah emas habis dicuri besinya. Termasuk rumah sakit mewah di Lebong Tandai. Bangunannya rata, hanya tinggal pondasi.

Tak luput kereta uap dan diesel yang konon berjumlah lebih dari lima unit di Lebong Tandai. Semua lenyap tak berbekas hanya tersisa rel besi yang mengular di dalam hutan. "Orang-orang desa inilah yang merusak dan mencuri. Mereka jual untuk bertahan hidup sepeninggal Belanda," tutur Supandi.

Sejak itu Lebong Tandai pun mati suri. Orang-orang desa kembali berjalan kaki dari desa untuk keluar ke Napal Putih. Bahkan sejumlah warga mulai meninggalkan desa itu.

Berpuluh tahun berlalu. Harapan pun muncul ketika perusahaan milik Australia dan sebagian sahamnya milik keluarga Cendana, PT Lusang Mining, mulai masuk ke desa pada tahun 1980-an. Namun sial, mereka membawa pekerja baru dari tanah Jawa, persis Belanda kala itu.

"Orang-orang desa dipaksa pindah ke Ipuh (Kabupaten Muko Muko). Hanya segelintir yang bertahan," kenang Supandi yang kemudian mengaku bekerja di PT Lusang Mining dan sempat ditunjuk sebagai kepala serikat buruh.

Meski begitu, geliat pertambangan emas pun mulai bergairah lagi di Lebong Tandai. PT Lusang Mining banyak membangun fasilitas rumah buat pekerjanya, termasuk sekolah. Kereta api pun hidup lagi, namun tidak menggunakan uap dan berganti dengan mesin Diesel.

Produksi Emas BRMS Kuartal III-2024 Lampaui Kinerja Sepanjang Tahun Lalu

Namun malang tak dapat ditolak. Tak sampai 20 tahun, PT Lusang Mining akhirnya tumbang karena tidak maksimal dalam produksi. Lubang emas sisa Belanda yang menembus bumi hingga 16 lantai, yang masing-masing jaraknya lantai berkisar antara 50 meter. Telah kering dan tidak melimpah emas seperti dulu lagi.

Karena itu  tepat pada tahun 1995, perusahaan ini pun resmi meninggalkan Lebong Tandai dengan kebangkrutan. Lebong Tandai pun sepi lagi. Beberapa warga yang punya sertifikat juru ledak dinamit atau pengeboran beberapa pindah ke Papua untuk bekerja di PT Freeport.

Penambang Emas Tertimbun Longsor di Solok: Tewas 15, Hilang 25 Orang

Sementara lainnya mengadu nasib ke Kota Muara Aman Kabupaten Lebong untuk mencari emas. "Sisanya yang tak punya modal, bertahan sampai kini di desa. Mungkin ada 50 persen berkurangnya orang-orang di Lebong Tandai," ujar Supandi.

Mukhlisin, Kepala Dusun setempat pun mengakui banyak warganya yang hengkang dari Lebong Tandai. Saat ini justru banyak pendatang, yang tidak berdomisili tetap di desa. Mereka hanya datang menambang, menginap untuk beberapa hari lalu pergi.

Paus Fransiskus Singgung Tambang Emas RI: Jangan Miskinkan Diri dengan Kekayaan Besar Ini

Orang-orang desa pun juga sudah enggan untuk menggali lubang tambang baru. Hampir sebagian besar justru masih menggali sisa-sisa urat emas di lubang lama. Penghasilan emas pun jauh berkurang. Untuk mendapat satu gram saja sudah susah setengah mati.

"Kosong semua. Mungkin masih ada di lantai VI sampai XII. Cuma sekarang terendam air. Kita mana ada alat sedot air seperti zaman Belanda atau Lusang Mining dulu," ujar Mukhlisin.

Kondisi mengenaskan itu juga diakui Yusman (38). Lelaki bertubuh kekar ini cuma bisa bersabar dan berharap ada keajaiban. Glundung miliknya yang berputar 24 jam cuma bisa menghasilkan emas mentah sebesar biji kedelai.

Harganya pun tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan ketika menggotong karungan batu di pundak dari lubang tambang di atas bukit. "Kami tidak peduli lagi soal gram emas. Yang pasti, satu glundung itu dihargai Rp50 ribu. Emasnya ya sebesar ini," ujar Yusman menunjukkan benda berwarna putih perak, lembek sebesar biji kedelai yang didapatnya dari glundung.

Sejauh ini. meski telah melewati beberapa fase kehidupan, Lebong Tandai memang belum mendapat perhatian serius pemerintah di Bengkulu. Akses jalan satu-satunya ke desa, masih mengandalkan rel milik Belanda yang sudah tidak layak.

Penyediaan dana desa, hanya bisa membantu segelintir berupa pembenahan dan secuil akses jalan motor di desa. Selebihnya, belum bisa berbuat lebih banyak.

Batavia kecil itu pun masih tersudut di pelosok dengan segala kesusahannya. Bahkan, lantaran mayoritas warga cuma punya keahlian menambang dan minimnya akses untuk bercocok tanam.

Warga kini mulai kesusahan mencari pangan. Beras yang dibeli dari Kecamatan Napal Putih dibanderol dua sampai tiga kali lipat di pasaran. Sementara kondisi pailit emas, membuat warga kesulitan untuk membeli beras atau menyimpan untuk stok. Kemiskinan pun mulai membelit warga di Lebong Tandai.

Glundung emas yang berputar setiap hari sudah seperti menjerit suaranya. Harga besi-besi itu makin mahal dan semakin susah dicari. "Kalau saran saya sekarang. Mending kurangi menambang. Tapi baiknya menanam. Emas ini sudah susah sekali. Kita lupa menyiapkan makan," ujar Supandi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya