Ba’asyir Tolak Pancasila Dianggap Bukti Program Deradikalisasi Gagal

Penasihat hukum Jokowi, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat, 18 januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

VIVA – Pengamat teroris Al Chaidar menilai program deradikalisasi untuk para narapidana kasus terorisme yang dijalankan pemerintah selama ini gagal total. Salah satu buktinya ialah kabar Abu Bakar Ba'asyir yang menolak mentah-mentah mengakui kesetiaannya pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengamat Ingatkan Pemerintah Harus Antisipasi Penyebaran Paham Khilafah saat Pilkada

Dia menyitir pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Komjenpol Suhardi Alius, bahwa Ba'asyir termasuk kategori napi hardcore atau keras kepala. Alasannya, Ba'asyir punya ideologi keras dan tak mau mengikuti program deradikalisasi.

Menurut Al Chaidar, program deradikalisasi sebenarnya gagal semenjak peristiwa bom bunuh diri di Kantor Polres Poso, Sulawesi Tengah, pada 2013. Peristiwa itu, dan eksodus mantan narapidana teroris ke Suriah dan Mindanao, memperkuat bukti kegagalan program deradikalisasi.

Densus Beberkan Peran 8 Tersangka Teroris Kelompok NII yang Ditangkap di Beberapa Wilayah Indonesia

"Seseorang yang kembali melakukan aksi terorisme setelah ia keluar dari penjara, merupakan bukti kegagalan program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah,” katanya Al Chaidar di Padang, Sabtu, 26 Januari 2019.

Sebenarnya, kata Al Chaidar, kegagalan itu lebih karena ketidajelasan konsep deradikalisasi. Pemerintah, yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, BNPT, dan Badan Intelijen Negara, masih menggunakan konsep deradikalisasi sebagai program rehabilitasi non-klinis. “Namun program tersebut tidak terpadu satu sama lain," ujarnya.

Organisasi Pers Sebut Sebagian Besar Jurnalis Dibunuh secara Sengaja oleh Israel di Gaza

Meski BNPT sering membantah anggapan program deradikalisasi itu gagal, fakta menunjukkan hal lain. Al Chaidar mencontohkan Fadli Sadama, residivis perampokan di Medan dan Aceh yang sempat mengikuti program deradikalisasi.

Fadli menggunakan hasil uang rampokannya untuk aksi terorisme. Ia kemudian kembali melakukan teror. Program deradikalisasi yang mengandalkan pada perubahan ideologi tidak lagi dianggap efektif mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme.

"Pemerintah Indonesia melakukan deradikalisasi sebagai salah satu cara lunak (soft-approach) untuk mengatasi terorisme di Indonesia pasca-Bom Bali 2002. Namun, program ini tidak berjalan dengan baik,” katanya.

“Deradikalisasi untuk mengubah atau menghilangkan ideologi radikal, termasuk di Indonesia, terbukti tidak efektif. Metode ini juga tak berhasil diterapkan kepada orang-orang yang sudah terpengaruh paham radikal, bahkan jauh hari sebelum ideologi takfiri masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya ISIS,"  Al Chaidar menambahkan.

Kabar bahwa Ba’asyir menolak menandatangani pernyataan setia pada Pancasila dan NKRI sebagai syarat bebas dari penjara, Al Chaidar mengingatkan, lagi-lagi membuktikan deradikalisasi gagal total. Pemerintah sudah seharusnya paham bahwa Ba’asyir memiliki ideological standing dan punya integritas tinggi. 

Ba’asyir yang pada 1983 ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar setelah dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila, bahkan melarang para santrinya hormat bendera karena diyakin syirik. Pancasila bagi Ba’asyir bukanlah segalanya.

Firdaus Oiwobo

Berapi-api! Firdaus Oiwobo Desak Polrestabes Surabaya Bebaskan Ivan Sugianto

Pengacara, Firdaus Oiwobo mendesak Polrestabes Surabaya membebaskan Ivan Sugianto, tersangka yang mengintimidasi siswa SMA untuk sujud dan menggonggong seperti anjing.

img_title
VIVA.co.id
22 November 2024