Warung-warung Kopi di Surabaya Galau karena Revisi Perda tentang Rokok

Serikat pekerja rokok dan paguyuban toko menjelaskan keresahan tentang revisi Perda Kawasan Tanpa Rokok di Surabaya pada Jumat, 25 Januari 2019.
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Revisi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok (Perda KTR) di Kota Surabaya berpotensi mengancam kelangsungan industri hasil tembakau di wilayah itu. Para pedagang, penjual bahkan rumah makan dan minuman yang secara tidak langsung berhubungan dengan konsumen rokok resah, seperti warung kopi atau warkop dan kafe.

Inisiatif Pengelolaan Sampah Puntung Rokok yang Menginspirasi

Sejumlah ketentuan yang ada dalam draf revisi Perda KTR Kota Surabaya dinilai bertentangan dengan regulasi di atasnya, terutama Undang Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Keresahan itu disampaikan, di antaranya, oleh Ketua Paguyuban Toko Surabaya Sri Utari. Dia meminta para pelaku industri dan pebisnis tembakau dan hasil tembakau dilibatkan pada pembahasan revisi perda tersebut. “Apapun peraturan perundangan, hendaknya sejalan dengan peraturan lain, apalagi yang lebih tinggi,” katanya di Surabaya, Jawa Timur, pada Jumat, 25 Januari 2019.

Bea Cukai Banjarmasin Musnahkan 1,5 Juta Batang Rokok Ilegal

Ada tiga poin revisi Perda KTR yang menimbulkan keresahan karena berpotensi merugikan dan mengancam keberlanjutan usahanya. Pertama, rencana larangan kegiatan menjual, mengiklankan, dan mempromosikan tembakau berlaku mutlak di lingkungan Kawasan Tanpa Rokok.

“Itu bertentangan PP 109 Pasal 50 ayat 2 yang menyatakan seluruh aktivitas tersebut tetap bisa dilakukan di tempat penjualan produk tembakau di wilayah KTR,” ujarnya.

Bea Cukai Kudus Tindak Ratusan Ribu Rokok Tak Berpita Cukai di Jepara

Kedua, Kawasan Tanpa Rokok ‘dapat’ menyediakan tempat khusus merokok. Utari menjelaskan, frasa “dapat” bisa menciptakan multitafsir bagi publik. “Kata ‘dapat’ memiliki dua makna, yaitu boleh menyediakan tempat rokok atau sebaliknya,” katanya.

Ketiga, tempat merokok harus terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas. “Poin ini tidak efektif diterapkan bila tidak diimbangi dengan penyediaan tempat khusus merokok di seluruh tempat kerja dan tempat umum seperti, kantor, pasar, hotel, dan gedung di Surabaya,” ujarnya.

Salah satu elemen yang resah dengan revisi Perda KTR itu ialah pemilik warkop dan pedagang rokok. Dia mengklaim, pengusaha warkop dan pedagang yang bergabung dengan paguyubannya sebanyak 700 orang.

“Kalau perda-nya ini diteruskan pastinya warkopnya sepi. Karena gandengan orang merokok dengan kopi biasanya kayak suami-istri. Kalau ada kopi, biasanya ada rokok,” kata Utari.

Keresahan sama disampaikan oleh pimpinan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman pada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia atau FSP RTMM-SPSI Kota Surabaya, Emanuel Embu. Dia juga mengkritisi tiga poin dalam draf revisi Perda KTR tersebut dan sudah mengirimkan surat ke Pansus DPRD setempat soal itu.

“Keberpihakan Pemerintah Kota Surabaya terhadap industri rokok yang menjadi tempat bergantung hidup sangat kami harapkan,” katanya.

Ketua DPRD Surabaya, Armuji, mengatakan bahwa pansus soal revisi Perda KTR masih berjalan dan belum melaporkan ke Banmus. Masukan-masukan dari berbagai pihak berkepentingan, termasuk pelaku industri dan pedagang sudah diakomodasi.

“Perda (kawasan tanpa) rokok itu sangat dibutuhkan apalagi di Surabaya sebagai kota metropolis,” ujarnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya