Logo BBC

Polemik Remisi Terpidana Pembunuhan Wartawan dan Kasus Ba'asyir

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Jumat, 18 Januari 2019.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (tengah) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Jumat, 18 Januari 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Setelah mendapat kritikan terkait rencana pembebasan narapidana terorisme Abu Bakar Ba`asyir, Presiden Joko Widodo kembali mendapat kritikan dari sejumlah kalangan menyangkut pemberian remisi kepada otak pembunuhan wartawan di Bali.

Kasus pembunuhan ini adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis pertama yang berhasil diungkap secara tuntas di Indonesia, menurut Ketua AJI Denpasar Nandhang R. Astika, seperti dikutip sejumlah laporan.

Pakar hukum Leopold Sudaryono bahkan mengatakan keputusan Presiden Jokowi tersebut "tidak cermat".

"Dalam kasus ini kan sebenarnya yang dibunuh secara terencana ini bukan hanya diri Prabangsa tapi juga jaminan keamanan kemerdekaan pers. Jadi di kasus ini ada unsur pemberatannya," ungkap Leopold.

Kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, Gde Bagus Narendra Prabangsa, terjadi pada Februari 2009 dan diusut tuntasnya kasus ini dengan pelaku, I Nyoman Susrama, dihukum berat dianggap sebagai tonggak penegakan pers di Indonesia.

"Ada kelalaian dalam mempertimbangkan ini dan dalam menghitung resikonya pada penurunan perlindungan profesi wartawan dan kemerdekaan pers di Indonesia. Jadi sudah selayaknya Presiden sesudah mendapatkan masukan dari masyarakat itu mempertimbangkan ulang pemberian grasi," kata Leopold.

"Pemberian remisi berdasarkan hukum"

Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utama, mengatakan alasan pemberian remisi itu berdasar hukum, ditambah I Nyoman Susrama dianggap berkelakuan baik dan tidak pernah melakukan pelanggaran tata tertib di lapas selama hampir 10 tahun.

"Dari lapas, mengajukan usulan setelah ada sidang oleh tim pengamat pemasyarakatan. Hasil sidang merekomendasikan yang bersangkutan dapat diusulkan remisi perubahan pidana penjara. Dari usulan ke Kanwil, dilakukan sidang kembali. Setelah dilihat secara substansi dan administrasi, memenuhi persyaratan, dikirimkan ke Ditjen Pemasyarakatan," jelasnya.

"Kami melakukan sidang kembali, menelaah terkait dengan syarat administrasi dan substansinya. Setelah diyakini oleh kami, bahwa yang bersangkutan memenuhi persyaratan, baru kami kirimkan ke bapak Menkumham untuk diteruskan ke Bapak Presiden."

"Pemberian grasi cenderung meningkat di tahun politik"

Pemberian grasi atau remisi menurut Leopold, cenderung meningkat drastis di tahun politik, termasuk pada pemilu-pemilu sebelumnya.

"(Tahun) 2009, 2010 juga 2014 itu tinggi sekali (pemberian grasi). (Tahun) 2014 diberikan grasi sejumlah 82, sementara 2015 hanya 30 (grasi), dan tahun-tahun lain itu hanya 11 (grasi). Tahun 2010 sampai 300-an (grasi)," papar Leopold.

Dia buru-buru menambahkan, "Tentu kita harus mencari buktinya untuk bisa menyatakan ada hubungannya dengan tahun politik, tapi ada kecenderungan pemberian pada tahun politik itu cukup besar."

Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utama menyangkal hal itu. Dia mengatakan bahwa pengusulan grasi selalu berdasarkan pemenuhan syarat substansi dan administrasi.

"Tidak benar kalau pada waktu tertentu, tak ada. Jadi tergantung yang memenuhi syarat substansi dan administrasi," tegas Sri.

Apakah mempengaruhi elektabilitas Joko Widodo?

Remisi terpidana pembunuhan ini diumumkan di tengah kontroversi rencana pembebasan terpidana terorisme, Abu Bakar Ba`asyir, yang kemudian batal.

Semula Ba`asyir direncanakan bebas tanpa perlu menandatangani dokumen taat pada Pancasila, langkah yang kemudian disebutkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai sesuatu yang mendasar dan harus dilakukan.

Dua kasus hukum ini menurut pengamat politik Universitas Negeri Jakarta, UNJ, Ubedilah Badrun akan mempengaruhi elektabilitas presiden pada Pilpres April mendatang.

"Ketidakcermatan kan indikator persoalan under capacity , jadi tidak mampu memahami secara utuh persoalan hukum. Lalu kesan yang kemudian muncul kan sangat politis. Misalnya Baasyir untuk menarik kelompok Islam misalnya," jelasnya.

"Tapi ternyata kemudian keliru. Kekeliruan itu kemudian berdampak negatif dan akibatnya karena persepsi publik negatif terhadap petahana, tentu akan terjadi erosi elektoral, akan ada penurunan elektabilitas dari Jokowi."

Namun, pengamat politik lain, Aditya Perdana dari Universitas Indonesia mengatakan masalah hukum seperti ini belum tentu dipahami masyarakat, terutama yang di pedesaan.

"Nah itu saya belum yakin karena harus di cross check dengan survei yang menyatakan itu di rentang waktu sekarang," jawabnya.

"Persoalannya adalah apakah publik secara luas tahu banyak tentang itu, artinya apakah masyarakat yang mengakses informasi secara baik bisa mendapatkan persepsi positif atau negatif terhadap pemberitaan itu."

"Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Kenapa tidak? Karena belum tentu juga masyarakat di pedesaan atau di kampung yang begitu paham situasi seperti ini kemudian merasa tak tau apa-apa juga soal berita-berita seperti itu."