Logo BBC

Mekanisme Hingga Alasan Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir Dipertanyakan

Abu Bakar Ba`asyir di Pengadilan Negeri Cilacap tahun 2016 lalu saat mengajukan pembebasan bersyarat.-Ulet Ifansasti/Getty Images
Abu Bakar Ba`asyir di Pengadilan Negeri Cilacap tahun 2016 lalu saat mengajukan pembebasan bersyarat.-Ulet Ifansasti/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Keputusan Presiden Joko Widodo dalam menyetujui pembebasan pendiri Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Abu Bakar Ba`asyir, menuai polemik.

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, menyatakan bahwa ia tidak masalah dengan pembebasan Abu Bakar Ba`asyir yang dinilai sudah cukup tua.

Meski demikian, jaringan terorisme Ba`asyir yang menjadi kekhawatirannya.

"Abu Bakar Ba`asyir-nya kita tidak masalah, karena sudah sepuh, 81 tahun. Tapi, jaringannya itu, pengikutnya (kan ada di) seluruh Indonesia," tutur Irfan kepada wartawan BBC News Indonesia, Rivan Dwiastono, Minggu (20/1).

"Dipenjara saja Abu Bakar masih beraksi jaringannya, apalagi kalau sudah bebas."

BNPT yang merupakan lembaga non-kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, belum memberikan tanggapan secara resmi terkait rencana pembebasan Ba`asyir.

"Kita belum, tunggu kesimpulan satu pintu, informasi dari kepala BNPT," tambah Irfan.

Ba`asyir yang merupakan pendiri Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), menurut Irfan, tidak mengikuti proses deradikalisasi selama masa hukumannya.

Ia telah mendekam di penjara sejak divonis bersalah karena terbukti mendanai pelatihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia tahun 2011 lalu.

Sebelumnya, menyusul serangan bom Bali pada 2002, Ba`asyir juga ditetapkan sebagai tersangka dan divonis dua tahun enam bulan setelah dinyatakan berkomplot dalam kasus terorisme tersebut.

Mempertanyakan aspek kemanusiaan

Penasihat hukum pasangan calon presiden/wakil presiden Joko Widodo-Ma`ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa urgensi pembebasan Ba`asyir yaitu faktor kemanusiaan dan sudah dijalaninya dua per tiga masa tahanan.

"Ya dua itu aja. Alasannya adalah kemanusiaan dan sudah uzur, dan dia berhak untuk dibebaskan. Itu aja," tutur Yusril saat dihubungi BBC, Minggu (20/1).

Saat ditanya lebih jauh terkait alasan presiden yang memberikan pembebasan `tanpa syarat` atas dasar kemanusiaan kepada Ba`asyir seorang, Yusril berkelit.

"Ya itu lah, pertanyaannya kan sama aja seperti itu. Kalau nggak dibebaskan, juga ditanya `kenapa nggak dibebaskan, padahal sudah tua?`. Ketika sudah dibebaskan, udah tanya lagi `kan orang tua bukan cuma dia aja`, debat ini nggak akan ada selesainya," ujarnya.

Peneliti Institue for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, meragukan keputusan presiden yang menggunakan alasan kemanusiaan dalam pembebasan Ba`asyir.

"Kenapa pas momennya sekarang? Kemudian kita nggak pernah tahu kajian-kajian yang dilakukan pemerintah, pertimbangannya apa," ujar Maidina kepada BBC News Indonesia, Minggu (20/1).

"Masalah Abu Bakar Ba`asyir sudah terlalu tua, oke, tunjukkan ke kita mana kajiannya presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung ataupun dia sudah berdiskusi dengan Kementerian Hukum dan HAM yang menunjukkan bahwa `perlu nih untuk memberikan pembebasan`," tuturnya.

Maidina lantas menganjurkan presiden untuk tidak berhenti di Ba`asyir dalam memberikan pembebasan bersyarat dengan alasan kemanusiaan. Ia merujuk pada sejumlah kasus, yang menurutnya, juga perlu diberikan pertimbangan kemanusiaan.

"Kalau kita lihat kasus Mary Jane sama Merri Utami, itu kan udah jelas kelihatan di fakta persidangan, terus juga di fakta yang bisa digali sama pemerintah bahwa Mary Jane dan Merri Utami itu korban dari sindikat narkotika. Nah, ini permohonan grasi, presiden langsung menolak begitu saja," imbuhnya.

Selain kasus tersebut, Maidina juga mencontohkan kasus lain yang perlu dipertimbangkan, di antaranya kasus Baiq Nuril, Meiliana, hingga daftar tunggu pidana mati dengan masa tunggu hingga 10 tahun.

"Kalau misalnya dia (presiden) benar-benat punya nilai kemanusiaan, dia bisa lihat dong," tutur Maidina.

Pembebasan bersyarat yang tanpa syarat

Yusril memastikan pembebasan Ba`asyir akan menggunakan mekanisme pembebasan bersyarat.

"Jalurnya tetap jalur pembebasan bersyarat," ujarnya. "Peraturan menterinya itu dikesampingkan oleh presiden. Presiden berwenang untuk melakukan itu."

Peraturan menteri yang dimaksud Yusril adalah Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor 3 tahun 2018.

Dalam permen tersebut, terdapat sejumlah syarat khusus yang harus dipenuhi narapidana kasus terorisme untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.

Selain telah menjalani 2/3 masa tahanan, narapidana harus bersedia bekerja sama untuk membongkar perkara yang dilakoninya, menunjukkan penyesalan atas kesalahannya, serta pernyataan tertulis terkait kesetiaan kepada NKRI.

"Kalau tingkat permen (peraturan menteri), namanya itu aturan kebijakan. Aturan kebijakan itu bisa dikesampingkan oleh kebijakan presiden," jelas Yusril.

Namun hal itu dikritik pengamat lembaga pemasyarakatan sekaligus kandidat doktor kriminologi Australian National University, Leopold Sudaryono. Menurutnya, kedudukan presiden yang berada di atas menteri, tidak serta merta membuatnya bisa leluasa menabrak aturan dari permen.

"Presiden benar di atas menteri, tapi ada peraturan menteri, ada PP, peraturan pemerintah," ujar Leopold kepada BBC, Minggu (20/1). "Pada akhirnya memang bisa dia paksa, karena itu anak buahnya. Tapi yang terjadi adalah bentuk intervensi politik. Dan apakah ini yang diinginkan?"

Leopold berpandangan, bila presiden memaksa menabrak dan mengabaikan peraturan menteri maupun peraturan pemerintah, maka kekacauan hukum akan terjadi. Ia khawatir, `keistimewaan` yang diterima Ba`asyir akan menjadi preseden hukum yang buruk.

"Karena ini kita bukan hanya bicara soal Abu Bakar Ba`asyir. Kita bicara soal supremasi hukum, kita bicara mengenai kasus-kasus lain yang akan ikut di belakang, kan ini jebol ini," tambahnya.

Apabila Jokowi tetap mengambil langkah memberikan pembebasan `tanpa syarat`, Leopold mengingatkan, hal tersebut jadi bertolak belakang dengan prinsip Presiden Jokowi selama ini.

"Ada intervensi politik pada proses hukum. Padahal kan selama ini pemerintah sekarang, Pak Jokowi, selalu menolak asumsi itu, (bahwa) tidak pernah kita melakukan intervensi," imbuhnya.

Selain pembebasan bersyarat, sejatinya ada sejumlah cara lain yang bisa ditempuh untuk membebaskan narapidana dari hukuman yang dijalaninya, di antaranya dengan pemberian grasi hingga amnesti.

"Kalau mau buat keputusan sendiri, prerogatif presiden, pakai mekanisme amnesti. Jadi tanggung jawabnya langsung ada di tangan presiden, jangan pakai mekanisme pembebasan bersyarat," ungkap Leopold.

Meski demikian, mekanisme amnesti diakuinya mengandung risiko politik yang lebih besar. "Karena ini kan presiden sendiri (yang bertanggung jawab). Kalau pembebasan bersyarat yang tanda tangan kan menteri," pungkasnya.

Pembebasan Ba`asyir dianggap `strategi elektoral Jokowi`

Sementara itu, pengamat politik Universitas Indonesia Hurriyah merasa sulit untuk melihat keputusan pembebasan Abu Bakar Ba`asyir sebagai upaya murni Presiden Jokowi atas dasar kemanusiaan.

"Kalau dibilang ini murni, tidak ada kepentingan elektoral, rasa-rasanya kok agak sulit dipercaya. Sementara publik juga tahu Pak Jokowi sedari awal sudah menyadari bahwa basis suara dia dari pemilih muslim ini kan tidak terlalu besar, pemilih muslim yang konservatif," ujar Hurriyah.

Menurutnya, pembebasan Abu Bakar Ba`asyir tidak lebih dari salah satu manuver politik Jokowi menjelang pemilihan presiden. Momen ini dianggapnya menjadi satu titik dalam rangkaian upaya paslon nomor urut satu untuk merebut suara.

"Beberapa manuver yang dilakukan Pak Jokowi, mulai dari merekrut Ma`ruf Amin, kemudian juga dari busana yang beberapa kali dikenakan beliau, baju koko dan lain sebagainya, itu jadi bagian dari menarik simpati kelompok pemilih Islam konservatif," tutur Hurriyah.

"Saya pikir, pembebasan Abu Bakar Ba`asyir menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari strategi elektoralnya," imbuhnya.