Kisah Nalendra, dari Jual Pisang Goreng hingga Bikin RSAL Jempolan
- VIVA.co.id/Nur Faishal
VIVA – Namanya I Dewa Gede Nalendra Djaya Iswara. Masa bocah mulai melatih mandiri dengan berjualan pisang goreng, banyak pesan inspiratif bisa digali dari pria 63 tahun berpangkat Laksamana Pertama itu.
Dia pula yang berhasil mengelola Rumah Sakit TNI Angkatan Laut dr Ramelan Surabaya, sekelas RS di Singapura, tetapi merakyat.
Nalendra, begitu dia akrab disapa, lahir dari keluarga Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Ayahnya, I Dewa Made Pegeg, adalah prajurit TNI AL berpangkat terakhir Pembantu Letnan Satu. Setelah TK, oleh orangtuanya, Nalendra kecil lantas dititipkan ke pamannya di Banyuwangi. Di Bumi Blambangan, dia menempuh Sekolah Dasar.
Nah, saat SD itulah kisah Nalendra berjualan pisang goreng terjadi. Dia belajar mandiri dan tak ingin menjadi beban bagi keluarga pamannya. Hidup seperti itu dilakoni Nalendra sampai lulus Sekolah Menengah Pertama di Banyuwangi. Dia kemudian hijrah ke Surabaya, setelah diterima di SMA Negeri 1 Surabaya pada 1979.
Biasa mandiri, sembari sekolah di Surabaya, Nalendra nyambi bekerja, kendati tinggal bersama pakdenya yang seorang dokter, I Dewa Gede Malik. Saat itu, dia membantu budenya jualan di toko. Nalendra remaja juga menjadi sales ayam potong. Belajar dan bekerja, hampir tidak ada waktu luang buat Narendra bermain-main laiknya remaja pada umumnya.
Lulus SMA, Nalendra diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 1982, dengan beasiswa Supersemar. Setelah lulus dan mendapatkan predikat dokter umum, 'anak kolong' itu lalu mendaftar dan diterima di Sekolah Perwira Militer Sukarela AL Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI) pada 1988.
Tujuh bulan menjalani pendidikan, mahasiswa Sepamilsuk berstatus co asisten dokter (Koas) itu dilantik menjadi Letnan Dua. Tugas pertamanya di Denjaka pada tahun 1989 sampai 1994. Sembari menggembleng jiwa prajuritnya, Nalendra memperdalam ilmu kedokterannya dengan masuk di pendidikan spesialis Bedah Umum FK Unair dan lulus pada 1998.
Dua tahun berikutnya, Nalendra dinyatakan lulus sebagai ahli bedah thorax cardio vaskuler. Sejak itulah karir kemiliterannya dilalui di bidang yang dia kuasai, yakni urusan kesehatan. Tugas resmi pertamanya sebagai dokter di RSAL dr Ramelan Surabaya pada 2002-2005, setelah itu menempati beberapa posisi di Dinas Kesehatan Armatim.
Pada 2011-2014, Nalendra menjabat Kepala Rumkital dr Midiyato Tanjungpinang, lalu Kepala Rumkital dr Mintoharjo Jakarta hingga 2015, dan terakhir Kepala Rumkital dr Ramelan Surabaya dari tahun 2015 sampai Januari 2019. Nah, di masa kepemimpinannya lah Rumkital dr Ramelan mengalami banyak kemajuan.
Cerita inspiratif Nalendra itu tertuang dalam buku Strategi Nalendra Ubah Ancaman Menjadi Peluang; Rumkital dr Ramelan Era JKN karya Siti Nasyi'ah. Dihadiri sang penulis dan sosok yang diprofil, bedah buku tersebut digelar di Hotel Luminor Surabaya, Jawa Timur, pada Jumat 18 Januari 2019. Hadir sebagai pembedah, di antaranya, mantan Menpora Hayono Isman.
Di akhir kepemimpinannya, Nalendra membangun ruang ICU mewah dengan kapasitas tempat tidur rawat seperangkat ventilator 52 bed. VIVA melihat sendiri fasilitas baru itu saat diresmikan pada September 2018 lalu. Dengan fasilitas memadai itu, Nalendra saat itu mengatakan tidak akan ada cerita lagi Rumkital menolak pasien karena kekurangan ruang operasi.
Selain soal fasilitas, hal yang jadi prioritas pria yang kini menjabat Kepala Dinas Kesehatan TNI AL itu ialah soal pelayanan BPJS.
"Awalnya saya mengelola, saya menganalisis posisi RSAL ada di kuadran 1, artinya bisa berkembang dengan baik," katanya usai bedah buku.
Empat langkah kemudian dilakukannya. Pertama, intervensi perut, yakni kesejahteraan anggota. Kedua, melengkapi sarana dan prasarana yang menghasilkan keuntungan berlipat-lipat.
"Contoh kamar operasi yang bisa menghasilkan penghasilan besar dari BPJS. Dari awalnya penghasilan hanya Rp3 miliar menjadi Rp16 miliar, setelah dilakukan intervensi," ucapnya.
Sementara itu, Hayono Isman mengatakan, Rumkital layak ditiru karena membawa budaya baik yang dikawal oleh manajemen baik di bawah kepemimpinan Nalendera. Salah satunya, perawat yang care terhadap pasien.
"Seperti kata Pak Nalendra tadi, ngapain harus ke luar negeri, ke Penang atau ke Singapura, kalau di Surabaya ada," ujarnya. (asp)