Kompensasi Korban Bom Terganjal Aturan Pemerintah
- Anadolu Agency/Gandhi Wasono
VIVA – Direktur Yayasan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi menyatakan, saat ini jumlah korban bom aksi kejahatan terorisme yang belum mendapatkan hak-hak korban, seperti kompensasi masih cukup tinggi.
Pemberian kompensasi korban terorisme diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2018. Sayangnya, implementasi dari hak para korban itu belum direalisasikan lantaran Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi aturan turunan terkait syarat mendapatkan kompensasi belum rampung.
"PP ini yang memberikan rincian syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh para korban. Dan PP itu yang saat ini ditunggu-tunggu oleh korban," kata Hasibullah saat memperingati 3 tahun peristiwa Bom Thamrin di Jalan MH.Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu 13 Januari 2019.
Hasibullah menerangkan jumlah penyintas aksi teror di seluruh Indonesia masih banyak yang belum mendapatkan hak-haknya. Sehingga ia berharap pemerintah dapat menerbitkan PP dalam waktu dekat agar para korban dapat segera mendapatkan kejelasan atas hak-hak yang dapat diperolehnya.
Menurut Hasib, korban bom yang dilakukan oleh para jaringan teroris yang baru mendapatkan bantuan berupa kompensasi baru sekitar 20 orang. Sementara, jumlah korban aksi terorisme itu mencapai ratusan, terlebih lagi korban bom lama seperti korban Bom Bali 1 dan 2, bom Kuningan, bom JW Marriot yang masih belum tersentuh.
"Kompensasi bagi korban lama itu menjadi kebutuhan yang sangat besar karena melihat dari jumlah korban. Kebanyakan yang belum mendapatkan kompensasi justru dari korban lama. Sampai hari ini kan kurang lebih dari korban Thamrin 13 orang yang mendapatkan kompensasi, dari (korban) Kp Melayu 3 orang, Medan 1 orang, Samarinda juga demikian, mungkin hanya 20 an orang yang dapat kompensasi. Sementara ratusan korban lainnya itu belum dapat kompensasi," terangnya.
Melalui Pengadilan
Dalam Undang-undang Nomer 5 Tahun 2018, kata Hasibullah, pemenuhan hak-hak korban dalam hal ini pemberian kompensasi telah ditentukan harus berdasarkan ketetapan pengadilan. Sehingga, para korban lama nantinya baru akan mendapatkan kompensasi apabila pengadilan sudah menetapkan apakah yang bersangkutan itu benar sebagai korban, termasuk besaran atau nominal jumlah kompensasi.
"Itu nanti harus berdasarkan ketetapan pengadilan, bukan putusan pengadilan. Dan bagaimana itu bisa dilaksanakan, itu juga tergantung pada PP. PP ini yang akan diberikan rincian apa yang harus dipenuhi oleh para korban, oleh karena itu penerbitan PP atas UU Nomor 5 tahun 2018 itu harus disegerakan," katanya.