Said Aqil Khawatir Rezim Setelah Jokowi Intervensi Pesantren
- Lynda Hasibuan
VIVA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengakui ada kekhawatiran yang muncul jika pemerintahan selanjutnya ketika Joko Widodo tak lagi menjadi Presiden, mengintervensi pesantren.
Menurut Said, celah intervensi muncul di Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang masih dibahas di DPR.
"Kalau nanti kapan-kapan, misalkan rezimnya berbeda, kemudian tidak senang pesantren, intervensi (bisa dilakukan) dengan berdasarkan undang-undang yang ada," ujar Said Aqil usai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis, 10 Januari 2019.
Said Aqil menyampaikan, pemerintahan Jokowi-JK selama ini menjaga komitmen supaya pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan Islam yang independen. "Kalau sekarang, Pak Jokowi, Pak JK, sangat positif pada pesantren," ujar Said Aqil.
Salah satu bentuk intervensi, menurut Aqil, bisa dilakukan melalui aturan pendanaan pemerintah di RUU Pesantren. Said tak mau aturan tersebut malah menjadi alat pemerintah mengganggu independensi pesantren semata-mata karena pesantren mendapat pembiayaan dari negara.
"Selama ini pesantren itu independen. Itu sudah menjadi kekhasan. Ciri khasnya pesantren di situ. Nanti jika menjadi seperti sekolah yang mainstream, (pesantren menjadi harus menuruti) apa kata negara kan," ujar Aqil.
Said Aqil menekankan, dalam kondisi apa pun, pesantren harus senantiasa independen karena bukan tempat berpolitik. Independensi pesantren juga selalu diperjuangkan sejumlah tokoh politik Islam, seperti Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga kakek Gus Dur, KH Hasyim Asy'ari.
"Gus Dur sewaktu di MPR menolak. Jadi harus hati-hatilah (terhadap upaya mengganggu independensi pesantren)," ujar Said Aqil.
Selain itu, Said Aqil mengingatkan, masalah juga bisa muncul jika aturan pendanaan pemerintah di RUU Pesantren dijalankan. Pendanaan, misalnya, akan sulit dibagikan secara merata kepada seluruh pesantren yang jumlahnya melebih 27.000 di Indonesia.
Pemerintah juga harus menyusun mekanisme supaya dana yang diberikan bisa dipertanggungjawabkan.
"Ada 27.000 lebih pesantren. Pasti ada yang dapat (dana), ada yang tidak. Yang tidak dapat pasti tegang, ada konflik. Kemudian yang dapat itu, mampu tidak manajemennya? Membuat laporan anggaran," ujar Said Aqil. (ase)