Kodam Brawijaya soal Razia ‘Buku PKI’: Sudah Sesuai Prosedur

Tim gabungan TNI, Polri, Kejaksaan, dan pemerintah saat berkoordinasi tentang penyitaan buku diduga propaganda komunisme di Kediri, Jawa Timur.
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Penyitaan ratusan buku diduga berisi propaganda komunisme dan PKI di beberapa toko buku di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, pekan lalu masih jadi polemik, terutama di kalangan akademisi. Komando Daerah Militer V/Brawijaya sampai memberikan klarifikasi soal razia itu.

Dituduh PKI, Risma Klaim Kakek Buyutnya Bersaudara dengan Pendiri NU Hasyim Asy’ari

Kodam menyampaikan, razia itu dilaksanakan oleh tim gabungan, tidak hanya dari TNI, dan sudah sesuai prosedur.

Tim gabungan dimaksud ialah unsur dari TNI, Kepolisian RI, Kejaksaan Negeri, dan Pemerintah Kabupaten Kediri. "Penyitaan itu dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari pihak Kodim, Intelkam Polres Kediri, Kejari, Satpol PP, dan Kesbangpol pemkab setempat," kata Kolonel Singgih dalam keterangan tertulis yang diterima VIVA dari Penerangan Kodam V/Brawijaya pada Senin, 31 Desember 2018.

Terpopuler: Sosok Jenderal TNI Tolak Penayangan Film G30S/PKI, Geger Pesta Seks Tukar Pasangan

Pernyataan itu disampaikan Singgih merespons tanggapan seputar penyitaan buku yang ramai dibicarakan dan jadi polemik. “Ini berawal dari pengaduan masyarakat ke Koramil Pare pada tanggal 25 Desember 2018, yang menyatakan bahwa buku-buku yang dijual di toko buku tersebut, berbau propaganda Komunis,” kata Singgih.

“Selanjutnya, sebelum melaksanakan penyitaan atau pengamanan, Komandan Kodim melaksanakan koordinasi dengan para stakeholder setempat yang terdiri dari kepala Kejaksaan Negeri, kapolres, kakesbangpol, dan kasatpol PP Kediri. Kemudian membentuk tim gabungan guna menindaklanjuti informasi tersebut. Jadi, tidak benar langkah penyitaan buku-buku tersebut merupakan aksi sepihak dari TNI,” ujarnya.

TAP MPRS 33/1967 Dicabut, Menkumham Sebut "Simbol Pemulihan Martabat Bung Karno"

Buku bertemakan komunisme dan PKI dari berbagai judul diamankan aparat gabungan.

Dia mengatakan, penyitaan buku sudah sesuai prosedur. Berdasarkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966, menurut Singgih, sudah jelas bahwa pemerintah sangat menentang komunisme, Marxisme dan Leninisme. Bahkan pada 1999 diterbitkan Undang Undang Nomor 27 tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara.

“Dalam undang-undang tersebut (UU Nomor 27/1999), menambahkan enam ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I Buku II KUHP tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara yaitu pasal 107a, 107b, Pasal 107c, 107d , 107e dan 107f,” ujarnya.

“Pada pasal 107a berbunyi, barang siapa yang melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan, atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk apa pun dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun,” Singgih menambahkan.

Bahkan, pada pasal 107e dijelaskan jika pihak yang mengadakan hubungan, atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun luar negeri, yang diketahui berasaskan pemahaman Komunisme/Marxisme-Leninisme, atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara, atau menggulingkan pemerintah yang sah, juga wajib mendapatkan hukuman sesuai peraturan yang sudah diberlakukan. “Hukumannya pun jelas, yaitu penjara paling lama 15 tahun,” katanya.

Singgih mengimbau pihak-pihak yang memberikan komentar bahwa pengamanan terhadap buku itu seolah tidak prosedural agar memahami fakta-fakta di lapangan terlebih dahulu. Dia mengajak berbagai pihak untuk dapat memahami dan mengapresiasi upaya yang telah dilakukan oleh tim gabungan. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya