Derita Transmigran asal Lombok 'Terperangkap' Jadi Korban Gempa Palu
- VIVA/Satria Zulfikar
VIVA – Gempa yang mengguncang Palu, Sulawesi Tengah, pada September 2018 menyisakan trauma mendalam pada para korban. Terlebih lagi gempa disertai tsunami dan likuifaksi.
Zakiyah, seorang warga Lombok yang telah 24 tahun berada di Palu sangat trauma dengan bencana tersebut. Rumah miliknya yang terletak di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Palu, rusak parah akibat gempa.
Parahnya, rumahnya berada di perbatasan wilayah yang terkena likuifaksi di Balaroa. Kini rumahnya masuk zona merah bahaya likuifaksi atau fenomena tanah yang semula padat menjadi mencair getaran efek gempa.
Zakiyah bercerita, waktu hari kejadian gempa dahsyat dan segera disusul tsunami itu, dia hendak salat Magrib lalu berguncanglah tanah yang dipijaknya. Dia bergegas menyelamatkan diri dan keluarga tetapi belum tahu situasi terkini Balaroa. "Dua hari [kemudian] baru saya tahu Balaroa sudah enggak ada," ujarnya saat ditemui VIVA pada Jumat, 14 Desember 2018.
Banyak tetangga Zakiyah yang menjadi korban likuifaksi di Balaroa. Trauma dan kerinduan teramat dalam akan kampung halamannya membuat dia ingin pulang ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. "Saya pengin sekali pulang ke Lombok cari keluarga saya, tapi saya enggak punya uang," tuturnya.
Zakiyah hanya bekerja sebagai pemadat karet dan buruh cuci pakaian tetangga, yang tentunya dengan upah minim. Dia datang ke Palu bersama suaminya pada 1994 saat arus transmigrasi.
Beberapa lama di Palu, sang suami meninggalkannya setelah menikah lagi dengan wanita lain. Kini dia hanya hidup dengan temannya dan anaknya yang telah berkeluarga.
Kampung halaman Zakiyah sebenarnya di kawasan Turida, Mataram. Namun sejak dua puluh satu tahun silam, dia tidak pernah berkomunikasi dengan keluarganya di Lombok maupun Mataram. Dia berharap ada pihak yang membantunya menelusuri keluarganya di Lombok hingga dia dapat berkomunikasi dengan mereka. (art)