Anak-anak Korban Gempa dan Tsunami Palu yang 'Kembali dari Ajal'
- bbc
Gempa bumi dan tsunami berkekuatan 7,5 SR menghantam Sulawesi Tengah 28 Oktober lalu. Lebih dari 2.000 orang meninggal, bahkan ada kawasan seperti Petobo, yang akhirnya ditetapkan sebagai kuburan massal karena sudah tak mungkin menemukan korban yang terkubur di dalamnya.
Tetapi ada juga kisah ratusan anak-anak yang terpisah dari orang tua mereka. Dalam beberapa minggu terakhir ini 14 di antaranya bertemu kembali dengan keluarga mereka dalam peristiwa yang mengharukan setelah proses pencarian yang luar biasa.
Gara-garanya adalah kompor yang ditinggalkan dalam keadaan tetap menyala, saat Martha Salilama berlari keluar sambil menggendong Fikri, bocah usia tujuh tahun, ketika gempa melanda.
Fikri adalah cucu dari Selfi Salilama, adik Martha. Saat gempa terjadi, Martha, dibantu Fikri, sedang memasak nasi kuning dengan ayam goreng untuk dijual di Festival Pesona Palu Nomoni.
"Waktu gempa itu, rumah roboh semua. Mereka berlarian karena takut tertindih bangunan. Jadi lari keluar," kata Selfi.
Dikatakan oleh Selfi, Martha dan Fikri kemudian berkumpul bersama warga lain di sekitar patung kuda di teluk Palu. Ketika gempa bumi berhenti, Martha menitipkan Fikri kepada sejumlah tetangga di lapangan itu.
"Kakak saya itu (Martha) pulang ke rumah, mau matikan kompor, karena tadi sedang masak," kata Selfi.
"Ketika dia kembali ke patung kuda, Fikri sudah tak ada," kata Selfi. Rupanya tsunami sudah menerjang.
Maka yang disaksikan Martha di sana saat kembali adalah sebuah pemandangan horor: semuanya hancur lebur akibat gelombang raksasa tsunami yang baru saja menghantam teluk.
Main Pasir
Ada pula kisah Jumadil, bocah lima tahun, yang tatkala gempa melanda sedang bermain di pantai, membangun istana pasir.
Neneknya, Ajarni, yang mengasuhnya hari itu, berjualan makanan kepada penonton festival di jalanan di tepi pantai.
Dia sedikit manja sebelumnya, kata Ajarni.
"Anak ini minta digendong sebelum gempa terjadi. `Gendong nek,` katanya. Jadi saya gendong-gendong terus. Sampai akhirnya dia bosan dan meminta diturunkan dan bermain di pasir," katanya.
Ketika gempa kuat melanda dia berusaha membawa Jumadil, tetapi ia tak menemukannya.
"Entahlah apa yang terjadi, orang-orang sudah lari semua. Saya balik ke anjungan mencari cucu saya," katanya.
Situasinya kacau, katanya, orang-orang blingsatan ke segala arah saat gempa bumi melanda.
"Pas di Patung Kuda, air terlihat bergulung. Saya lihat air tinggi warnanya hitam. Saya lari sekencang-kencangnya, saya tidak tahu lari ke mana lagi. Untung ada motor-motor, saya berpegangan."
Gelombang akhirnya menyeretnya ke tempat parkir Golden Palu hotel.
Dia selamat. Tapi Jumadil lenyap.
Di tempat parkir itu Ajarni ditemukan oleh suaminya, Asmudin, kakek Jumadil.