Pejuang Bangsa yang Terlibat dalam Pertempuran Surabaya
- ANTARA FOTO/Saiful Bahri
VIVA - Salah satu peristiwa besar usai proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Saat itu, rakyat kita dalam semangat yang begitu tinggi mempertahankan kemerdekaan negeri ini.
Di tengah suasana seperti itu, Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II datang ke Indonesia. Mereka bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan Jepang.
Pasukan Sekutu yang datang ke Surabaya pada 25 Oktober 1945 adalah tentara Inggris, Brigade Infantri India 49 Maratha, di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby. Tidak lama setelah tiba, mereka lantas melucuti senjata tentara Jepang yang sudah direbut orang-orang Indonesia sebelumnya.
Tindakan tersebut menimbulkan kemarahan. Pertempuran antara pasukan Inggris dengan laskar-laskar pecah di Surabaya. Dalam sebuah insiden, Mallaby tewas. Kematian sang jenderal itulah yang membuat Inggris murka, dan menjadi salah satu sebab mereka mengultimatum rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata dengan batas terakhir pada 10 November 1945 pukul 06.00 pagi.
Tapi, mereka menolak. Mereka memilih hancur lebur daripada menyerah kepada Inggris. Pertempuran Surabaya yang heroik itu pun tidak terelakkan.
Banyak pihak khususnya di kalangan bangsa Indonesia yang berperan dalam pertempuran tersebut. Baik mereka yang berasal dari kelompok-kelompok, laskar, atau pun individu.
Berikut kelompok atau para pejuang yang terlibat dalam pertempuran tersebut seperti dikutip dari berbagai sumber:
1. Bung Tomo
Soetomo lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920. Pejuang revlusioner ini ternyata juga pernah menjadi wartawan yakni penyiar di Radio Domei (sekarang Antara).
Ketika pasukan Inggris mengeluarkan ultimatum agar rakyat Surabaya menyerah, dia tampil sebagai orator ulung yang membakar semangat juang rakyat. Saat itu, Bung Tomo juga menjabat sebagai kepala departemen penerangan di Organisasi Pemuda Indonesia.
"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapa pun juga."
"Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka," demikian kata Bung Tomo.
Dengan bermodal senjata hasil rampasan dari tentara Inggris, semangat mempertahankan kemerdekaan dari pasukan asing, rakyat Indonesia di Surabaya akhirnya memilih melawan gempuran Inggris yang dilancarkan baik dari darat, laut dan udara.
Bung Tomo meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi, pada 7 Oktober 1981. Dia kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 9 November 2007.
2. Gubernur Suryo
Dia memiliki nama lengkap Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo. Lahir di Magetan, Jawa Timur, 9 Juli 1898.
Suryo merupakan gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga 1948. Dia terlibat dalam pembuatan perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jenderal Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945.
Setelah Mallaby terbunuh, Komandan pasukan Inggris, Jenderal Mansergh, mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling lambat tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan.
3. Laskar Hizbullah
Laskar ini adalah milik Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) yang saat itu dipimpin Kiai Haji Wahid Hasyim. Salah satu pemimpin Hizbullah yang terkenal di masa itu adalah Zainul Arifin (1909-1963) yang merupakan tokoh Gerakan Pemuda Ansor.
Pejuang-pejuang Hizbullah turut gigih melawan tentara Inggri di Surabaya setelah NU mengeluarkan keputusan penting yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad. Isinya adalah berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu 'ain (harus dikerjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (jang cukup kalau dikerjakan sebagian saja)."
4. Kiai Haji Hasjim Asy'ari
Sosok penting di balik keluarnya resolusi jihad adalah Kiai Haji Hasyim Asy'ari. Salah satu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama itu lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 dan meninggal di Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947 pada umur 76 tahun.
Dalam menghadapi ultimatum Inggris, Hasjim juga turut meminta ribuan santrinya untuk maju berperang. Langkah itu memperkuat barisan rakyat dalam membela Surabaya dari gempuran pasukan asing.
5. Pemuda di seluruh tanah air yang ada di Surabaya
Dalam pidatonya, Bung Tomo menegaskan bahwa rakyat yang tinggal di Surabaya bukan saja para penduduk asli di kota tersebut. Ada juga para pemuda dari Maluku, Sulawesi, Pulau Bali, Kalimantan, Sumatera, Aceh, Tapanuli.
Para pemuda tersebut lantas bergabung dengan laskar Angkatan Pemuda Indonesia (API) Ambon dan Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Beberapa nama yang tercatat dalam sejarah antara lain, Mathijs Sapija dari Ambon, Hein Victor Worang, mantan Gubernur Sulawesi Utara, Jacob Frederick Warouw dari Minahasa, dan lain-lain.
Satu nama yang tidak dikenal adalah pemuda yang sudah menembak mati Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby. Sampai saat ini, tidak diketahui nasib sang pemuda ini setelah membunuh sang jenderal.
6. Kelompok Kiri
Tidak hanya para pemuda muslim dan juga nasionalis yang turut terlibat dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kelompok kiri atau komunis juga tercatat ikut melawan ganasnya tentara Inggris.
Salah satu nama sentral yang mengemuka adalah Soemarsono. Dia diketahui aktif di organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Peran Soemarsono secara khusus diulas dalam buku 'Soemarsono: Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan' karya Harsutejo.