Ahli: Ada Kimia Berbahaya Picu Kanker dalam Air Rebusan Pembalut
- VIVA.co.id/Lutfi
VIVA – Temuan Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Tengah tentang perilaku menyimpang remaja yang menggunakan air rebusan pembalut bekas untuk mendapatkan efek mabuk mendapatkan perhatian serius para ahli.
Guru besar ilmu kimia pada Universitas Diponegoro Semarang, Heru Susanto, mengingatkan bahwa penggunaan pembalut bekas yang direbus untuk dikonsumsi airnya sangat berbahaya bagi manusia karena mengandung senyawa berbahaya.
“Jelas sangat berbahaya, apalagi jika pembalut itu mengandung senyawa-senyawa kimia yang berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi. Kalau bekas, maka lebih berbahaya lagi karena ada kemungkinan tercampur dengan spora atau bakteri," kata Heru di Semarang pada Kamis, 8 November 2018.
Rata-rata pembalut wanita terbuat dari unsur kimia polimer. Senyawa kimia itu yang juga biasa digunakan untuk membuat plastik, karet, dan barang-barang lain. Ada juga senyawa yang disebut dioksin yang sangat berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi.
"Jika dikonsumsi zat tersebut akan berdampak pada kekebalan tubuh pengguna akan berkurang, bahkan bisa menyebabkan kanker," katanya.
Meski tidak semua pembalut mengandung dioksin, ia juga menyebut bahwa dalam kandungan pembalut juga ada formalin yang jika dikonsumsi sangat berbahaya bagi tubuh manusia.
Heru pun mengaku prihatin dengan fenomena penggunaan kimia berbahaya itu oleh kalangan remaja di Jateng untuk mencari sensasi mabuk. Ia menilai, mengonsumsi air rebusan pembalut lebih dikarenakan faktor ekonomi.
“Orang-orang yang biasa fly (mabuk), akan mencoba mencari material yang mengandung unsur seperti dioksin dan formaldehida," katanya.
Maraknya penggunaan air rebusan pembalut bekas oleh remaja di Jateng diungkap BNN Jateng. Menurut Kepala Bidang Pemberantasan BNN Jateng, AKBP Suprinarto, temuan terbanyak berada di wilayah pinggiran Jateng seperti Purwodadi, Kudus, Pati, Rembang serta Kota Semarang bagian timur. Rata-rata penggunanya adalah remaja usia 13-16 tahun.
Para remaja itu melakukan perilaku tersebut karena tak mampu membeli narkoba, seperti sabu-sabu, yang harganya mencapai jutaan rupiah. “Sebagai gantinya, mereka banyak yang meminum air rebus pembalut, mengonsumsi jamur kotoran sapi, atau mengisap lem, agar mendapat sensasi mabuk,” ujar Suprinarto. (ase)