Tak Cuma Dapat Rp200 Juta, LPSK Jamin Keamanan Pelapor Korupsi

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menggelar konferensi pers di kantornya
Sumber :
  • VIVA/Anwar Sadat

VIVA – Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK, Abdul Haris Semendawai mendukung langkah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2018. Dalam peraturan itu, pelapor kasus korupsi dan suap dijanjikan akan dihadiahi Rp200 juta.

Metode Perhitungan Kerugian Negara di Kasus Korupsi Timah Jadi Sorotan

"Peraturan pemerintah yang baru ditandatangani Presiden Jokowi ini secara langsung mengakui pentingnya peran pelapor dalam tindak pidana korupsi," kata Semendawai di acara Perlindungan Aparatur Sipil Negara Berstatus Saksi, Pelapor dan Justice Collaborator di gedung LPSK, Jakarta, Rabu 10 Oktober 2018.

Samedawai menambahkan, dalam peraturan yang baru itu juga disebutkan hak-hak bagi pelapor untuk mendapatkan perlindungan, baik fisik maupun hukum, yang dilakukan penegak hukum bekerja sama dengan LPSK.

KPK Sebut Kasus Eks Gubernur Kalsel Sahbirin Noor Tak Sama dengan Harun Masiku

Disebut bahwa lahirnya PP Nomor 43 Tahun 2018 mengganti PP Nomor 71 Tahun 2000, yang juga mengatur perihal yang sama. Tetapi, pada peraturan yang baru disahkan ini, ada beberapa progres yang dianggap penting dalam lebih maju dalam penguatan peran pelapor dalam kasus korupsi.

"Kemajuan itu antara lain mengenai durasi waktu dalam memproses laporan dari pelapor, serta soal besaran penghargaan dan pelaksanaannya," ujarnya.

KPK Usut Jual Beli Aset Milik Anggota DPR Anwar Sadad di Kasus Dana Hibah Jatim

Menurutnya, pada peraturan pemerintah terdahulu, setelah pelapor memberikan laporannya ke penegak hukum, tidak ada kepastian, kapan laporan itu akan ditindaklanjuti. Beda dengan PP Nomor 43 Tahun 2018. Disebutkan secara jelas, laporan akan ditindaklanjuti paling lambat 30 hari sejak laporan itu disampaikan kepada penegak hukum.

Sedangkan mengenai penghargaan bagi pelapor, sama seperti peraturan sebelumnya. Kepada para pelapor akan diganjar penghargaan berupa piagam dan premi. Hanya saja, pada PP Nomor 71 Tahun 2000, berapa besaran dan pihak mana yang akan memberikan, tidak diatur secara jelas.

"Bisa dikatakan, ada tapi tiada. Aturannya ada, tetapi dalam pelaksanaan sulit dilakukan, karena belum ada kejelasan," ujarnya.

Sementara itu, pada PP Nomor 43 Tahun 2018 yang baru ditandatangani Presiden, besaran premi dan pihak mana yang akan membayar sudah diatur. Untuk korupsi, pelapor bisa mendapatkan premi 2 permil dari kerugian negara yang dapat dikembalikan ke kas negara, dengan maksimal senilai Rp200 juta. Untuk kasus suap, premi juga sama 2 permil, namun maksimalnya hanya Rp10 juta.

“Siapa yang akan membayar premi? Masing-masing instansi, di mana pelapor itu menyampaikan laporannya. Pembayaran premi akan dilakukan, setelah kerugian negara yang berhasil diselamatkan masuk ke rekening negara," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya